Intens.id – Setiap tanggal 2 Februari, dunia memperingati Hari Lahan Basah Sedunia (World Wetlands Day/WWD) sebagai pengingat akan pentingnya ekosistem lahan basah bagi kehidupan manusia dan keseimbangan lingkungan.
Tahun 2025, tema yang diangkat adalah “Protecting Wetlands for Our Common Future”, yang diterjemahkan menjadi tagline inspiratif, “Jaga Lahan Basah untuk Masa Depan yang Cerah”. Tema ini menegaskan bahwa kesehatan ekosistem lahan basah berperan besar dalam kesejahteraan manusia serta kelestarian alam.
Lahan basah bukan sekadar hamparan air yang menggenangi daratan. Ia adalah benteng terakhir yang melindungi dunia dari dampak perubahan iklim.
Dari rawa-rawa pesisir hingga lahan gambut yang tersebar di berbagai belahan dunia, lahan basah menyerap karbon dalam jumlah besar, mengurangi risiko banjir, dan menjadi rumah bagi berbagai spesies unik yang tidak bisa ditemukan di ekosistem lain.
Namun, ancaman terhadap lahan basah semakin nyata. Konversi lahan menjadi area pertanian dan industri, eksploitasi sumber daya alam yang tidak berkelanjutan, serta pencemaran air telah menyebabkan hilangnya ekosistem lahan basah dalam jumlah besar.
Organisasi Ramsar Convention mencatat bahwa sejak 1700-an, dunia telah kehilangan lebih dari 85% lahan basahnya. Padahal, tanpa lahan basah, ketahanan pangan, akses air bersih, dan perlindungan terhadap bencana alam akan semakin melemah.
Di berbagai belahan dunia, aksi nyata dalam melindungi lahan basah terus digencarkan. Di Indonesia, misalnya, berbagai komunitas lokal mulai menerapkan teknik pertanian berkelanjutan di sekitar lahan gambut untuk mencegah kebakaran hutan dan lahan. Di Belanda, pembangunan infrastruktur kota dirancang agar tetap selaras dengan ekosistem lahan basah, bukan malah menghilangkannya.
Mengapa Lahan Basah Penting?
Lahan basah mencakup berbagai ekosistem seperti rawa, gambut, mangrove, dan danau yang memiliki peran vital dalam kehidupan manusia dan lingkungan.
Menurut Ramsar Convention (2022), lahan basah menyimpan sekitar 40% keanekaragaman hayati dunia dan bertindak sebagai penyerap karbon alami yang sangat efektif.
Selain itu, ekosistem ini berfungsi sebagai penyaring alami air tawar, pelindung dari bencana banjir, serta sumber pangan bagi jutaan orang di dunia.
Namun, meskipun memiliki manfaat luar biasa, lahan basah termasuk ekosistem yang paling terancam. Laporan IPBES (Intergovernmental Science-Policy Platform on Biodiversity and Ecosystem Services) tahun 2019 mencatat bahwa lebih dari 35% lahan basah dunia telah menghilang sejak tahun 1970 akibat konversi lahan, polusi, dan perubahan iklim.
Ancaman terhadap Lahan Basah di Indonesia
Indonesia memiliki ekosistem lahan basah yang luas, termasuk hutan mangrove dan lahan gambut terbesar di dunia.
Sayangnya, degradasi lahan basah terus terjadi akibat eksploitasi berlebihan dan pencemaran. Beberapa fenomena yang mengancam lahan basah di Indonesia meliputi:
Konversi Lahan Gambut untuk Perkebunan
Indonesia memiliki sekitar 14,9 juta hektare lahan gambut (KLHK, 2021), namun lebih dari 60% di antaranya telah terdegradasi akibat konversi menjadi lahan perkebunan kelapa sawit dan pertanian skala besar.
Pengeringan lahan gambut menyebabkan pelepasan karbon dalam jumlah besar, memperburuk krisis iklim.Proses ini mengakibatkan pelepasan gas rumah kaca seperti CO₂ dan metana yang sebelumnya tersimpan dalam tanah, memperburuk pemanasan global.
Selain itu, lahan gambut yang kering rentan terhadap kebakaran, menyebabkan kerusakan lingkungan yang lebih luas. Perlindungan dan restorasi lahan gambut sangat penting untuk mengurangi emisi karbon dan menjaga keseimbangan ekosistem.
Pencemaran Air dan Limbah Industri
Lahan basah seperti sungai dan danau di Indonesia semakin tercemar oleh limbah industri dan domestik.
Studi dari Badan Riset dan Inovasi Nasional (BRIN, 2023) menunjukkan bahwa Sungai Citarum, yang merupakan salah satu lahan basah utama di Jawa Barat, memiliki tingkat pencemaran mikroplastik tertinggi di Asia Tenggara.
Kerusakan Hutan Mangrove
Hutan mangrove berperan sebagai benteng alami yang melindungi garis pantai dari abrasi dan badai.
Namun, data KLHK (2022) menunjukkan bahwa sekitar 52% hutan mangrove di Indonesia mengalami kerusakan akibat pembukaan lahan untuk tambak dan pemukiman.
Mangrove berfungsi sebagai benteng alami yang melindungi pesisir dari gelombang pasang dan badai. Kehilangan mangrove menyebabkan meningkatnya risiko abrasi pantai dan memperparah dampak bencana alam seperti tsunami.
Mangrove merupakan habitat bagi berbagai spesies ikan, kepiting, dan burung laut. Kerusakan mangrove menyebabkan hilangnya biodiversitas, yang berdampak pada sektor perikanan dan ketahanan pangan masyarakat pesisir.
Mangrove memiliki kemampuan menyimpan karbon dalam jumlah besar. Ketika hutan mangrove rusak, karbon yang tersimpan di dalam tanah dilepaskan ke atmosfer, meningkatkan emisi gas rumah kaca. Menurut laporan IPCC (2021), lahan mangrove yang terdegradasi dapat melepaskan hingga 1.000 ton karbon per hektare.
Aksi untuk Melindungi Lahan Basah
Dalam rangka WWD 2025, terdapat tiga pesan utama kampanye yang harus menjadi perhatian bersama:
- Menghentikan Pencemaran Lahan Basah
- Mengurangi penggunaan plastik dan limbah beracun.
- Meningkatkan pengelolaan limbah domestik dan industri agar tidak mencemari sungai dan danau.
- Pelestarian dan Pengelolaan Berkelanjutan
- Menerapkan kebijakan tata guna lahan yang berkelanjutan.
- Melindungi lahan basah dengan melibatkan komunitas lokal dan pemerintah.
- Pemulihan Ekosistem Lahan Basah
- Mengembalikan fungsi lahan gambut yang telah rusak melalui teknik restorasi ekohidrologi.
- Menanam kembali mangrove di pesisir yang telah mengalami deforestasi.
Hari Lahan Basah Sedunia 2025 menjadi pengingat bahwa lahan basah adalah aset berharga yang harus dijaga demi keberlanjutan lingkungan dan kesejahteraan manusia.
Dengan semakin meningkatnya ancaman terhadap ekosistem ini, diperlukan kolaborasi antara pemerintah, masyarakat, dan sektor swasta untuk melindungi, mengelola, dan memulihkan lahan basah secara bijak.
Sejarah Hari Lahan Basah Sedunia
Hari Lahan Basah Sedunia, yang diperingati setiap 2 Februari, merupakan tonggak penting dalam upaya global untuk mengangkat kesadaran tentang pentingnya ekosistem lahan basah bagi keberlanjutan planet ini.
Sejarah penetapan hari ini bermula dari pengakuan internasional akan kerusakan yang semakin besar terhadap lahan basah, yang memiliki peran vital dalam mendukung kehidupan berbagai spesies dan menjaga keseimbangan alam.
Kelahiran Hari Lahan Basah Sedunia
Hari Lahan Basah Sedunia diperingati untuk pertama kalinya pada 2 Februari 1997, dan pemilihannya berakar pada penandatanganan Konvensi Ramsar pada 2 Februari 1971 di kota Ramsar, Iran.
Merujuk Ramsar Convention on Wetlands, History. Konvensi ini adalah perjanjian internasional yang mengatur perlindungan dan pengelolaan lahan basah di seluruh dunia, serta menekankan pentingnya menjaga lahan basah sebagai sumber daya alam yang tak ternilai.
Konvensi Ramsar itu sendiri didirikan dengan tujuan untuk meminimalkan hilangnya lahan basah yang terus-menerus disebabkan oleh aktivitas manusia, seperti urbanisasi, pengeringan lahan, dan perusakan habitat.
Makna Lahan Basah dalam Konteks Global
Pada saat penandatanganan Konvensi Ramsar, banyak negara menyadari bahwa lahan basah memiliki fungsi ekologis yang sangat penting.
Menurut Wetland conservation: A review of current issues and approaches, Mereka menyediakan habitat bagi flora dan fauna yang sangat bergantung pada ekosistem ini, membantu mengatur siklus air, serta bertindak sebagai penyaring alami untuk polutan.
Namun, meskipun pemahaman tentang manfaat lahan basah semakin berkembang, ancaman terhadap ekosistem ini terus meningkat. Oleh karena itu, Hari Lahan Basah Sedunia bertujuan untuk memperbaharui komitmen global terhadap perlindungannya.
Tujuan dan Tema Hari Lahan Basah Sedunia
Setiap tahun, Hari Lahan Basah Sedunia memiliki tema yang berbeda, yang dirancang untuk menyoroti isu-isu spesifik terkait perlindungan lahan basah.
Tema pertama pada tahun 1997 adalah “Lahan Basah dan Pembangunan Berkelanjutan,” yang menekankan pentingnya mempertahankan keseimbangan antara pengembangan ekonomi dan pelestarian lingkungan.
Selama bertahun-tahun, tema-tema yang dipilih bertujuan untuk meningkatkan kesadaran publik tentang kerusakan lahan basah dan mendorong tindakan positif dalam pelestariannya.
Perkembangan Hari Lahan Basah Sedunia
Dalam Ramsar Convention, Report of the 13th Conference of the Contracting Parties (2018) menyebutkan, pada 2005, jumlah negara yang menjadi pihak dalam Konvensi Ramsar telah mencapai lebih dari 150 negara, yang menandakan pengakuan global terhadap urgensi perlindungan lahan basah.
Penetapan Hari Lahan Basah Sedunia juga menjadi momentum bagi banyak organisasi internasional, lembaga pemerintahan, serta masyarakat sipil untuk bersatu dalam merumuskan kebijakan dan langkah-langkah yang lebih nyata dalam menjaga lahan basah.
Melalui kampanye pendidikan, diskusi ilmiah, serta program restorasi, tujuan utamanya adalah memperkenalkan masyarakat luas tentang pentingnya lahan basah dalam menjaga keberlanjutan alam.
Meskipun Hari Lahan Basah Sedunia telah sukses mengedukasi banyak pihak, tantangan yang dihadapi oleh lahan basah di seluruh dunia tetap besar. Lahan basah yang tersisa terancam oleh perubahan iklim, polusi, dan konversi lahan untuk keperluan pertanian atau pembangunan.
Oleh karena itu, momentum peringatan ini tidak hanya berhenti pada kesadaran, tetapi harus terus diiringi dengan langkah-langkah konkret untuk mempertahankan lahan basah bagi generasi mendatang.
Hari Lahan Basah Sedunia adalah simbol perjuangan kolektif umat manusia dalam menjaga keberlanjutan ekosistem yang sangat penting ini. Dengan menelusuri sejarahnya yang bermula dari Konvensi Ramsar 1971, kita diajak untuk terus meningkatkan kesadaran global dan melaksanakan tindakan nyata untuk menjaga lahan basah di seluruh dunia. Lahan basah bukan hanya warisan alam, tetapi juga kunci untuk menghadapi tantangan lingkungan global di masa depan.