Intens.id, Bulukumba – Sudut tenang Luppung Desa Manyampa Kabupaten Bulukumba, di mana akar mangrove merangkul bumi dan laut berbisik kepada pasir, tersembunyi sebuah drama ekosistem yang memesona.
Mangrove Luppung, seperti panggung alam yang megah, menjadi saksi bisu tentang tarian kehidupan moluska—makhluk bertubuh lunak dengan cangkang keras sebagai pelindung mereka.
Seperti dua sisi kain yang dijahit oleh jarum musim, hujan dan kemarau bergiliran membentuk pola unik di ekosistem ini.
Dalam kelembapan musim hujan, air laut yang mengalir masuk membawa sentuhan lembut dari sungai, menyelimuti akar mangrove dengan sedimen halus. Di musim ini, spesies bivalvia seperti Tellina palatum menonjol, mendominasi dengan anggun seperti pilar dalam komunitas mereka.
Namun, keseragamannya menyerupai harmoni yang rapuh, menunjukkan tanda-tanda ketidakseimbangan yang perlahan menyusup dari daratan.
Ketika kemarau tiba, mentari menggantikan hujan sebagai maestro utama. Sinar matahari yang tajam menembus kanopi mangrove, memberi kehidupan baru pada sedimen kasar di bawahnya.
Gastropoda, dengan keindahan spiral pada cangkangnya, tampil memukau. Di Stasiun 3, mereka menari dengan riang, membentuk komunitas yang lebih beragam. Nerita incerta dan Pugilina cochlidium, seperti musisi yang jarang terlihat, muncul untuk memeriahkan simfoni musim kemarau ini.
Namun, kisah ini tidak hanya tentang siapa yang tampil di panggung, tetapi juga bagaimana mereka bertahan. Perbedaan musim menciptakan ketegangan yang halus, menguji kemampuan spesies untuk menyesuaikan diri. Struktur komunitas bergeser, kadang mendekat, kadang berjauhan seperti pasangan penari yang kehilangan irama.
Di balik layar, penelitian itu seperti pena seorang penulis, merekam setiap gerakan dalam tarian ekosistem ini. Para peneliti menemukan bahwa musim kemarau, dengan stabilitas dan cahayanya, memberikan ruang bagi keanekaragaman untuk berkembang. Sedangkan musim hujan, dengan tantangan dan kelebihannya, menjadi pengingat bahwa tidak ada panggung yang selalu sempurna.
Mangrove Luppung adalah puisi alam, tempat dua musim menenun kehidupan moluska dengan benang perubahan. Penelitian ini bukan sekadar cerita tentang bivalvia dan gastropoda, tetapi juga refleksi tentang bagaimana alam menyesuaikan diri dengan tantangan. Seperti kain indah yang dijahit oleh tangan halus waktu, ekosistem ini terus menceritakan kisahnya kepada siapa saja yang mau mendengar.
Penelitian yang dilakukan oleh Magdalena Litaay dkk, tim dari Universitas Hasanuddin ini mengidentifikasi 37 spesies moluska, terdiri dari 19 spesies bivalvia dan 17 spesies gastropoda.
Hasil penelitiannya menunjukkan bahwa keanekaragaman moluska lebih tinggi pada musim kemarau dibandingkan musim hujan. Spesies bivalvia Tellina (Quidnipagus) palatum dan gastropoda Nassarius (Plicarcularia) leptospirus ditemukan di seluruh stasiun penelitian, mencerminkan kemampuan adaptasi mereka terhadap perubahan musim.
Selain itu, beberapa spesies unik, seperti Nerita planospira dan Terebralia sulcata, hanya ditemukan pada satu musim tertentu. Faktor lingkungan seperti salinitas, tekstur sedimen, dan intensitas cahaya matahari menjadi penentu utama distribusi moluska.
Datanya juga mengungkap bahwa indeks keanekaragaman gastropoda lebih tinggi pada musim kemarau, dengan nilai 1,69 dibandingkan 1,44 pada musim hujan.
Sebaliknya, komunitas bivalvia menunjukkan stabilitas yang lebih rendah di musim hujan, mengindikasikan kemungkinan pencemaran ekosistem.
Temuan ini menegaskan pentingnya menjaga keseimbangan ekosistem mangrove, terutama dalam menghadapi perubahan lingkungan akibat musim dan aktivitas manusia.
Penelitian tersebut membuka mata tentang keragaman hayati yang tersembunyi di kawasan mangrove.
Keanekaragaman moluska yang teridentifikasi tidak hanya berkontribusi pada ilmu pengetahuan, tetapi juga memberikan peringatan tentang perlunya upaya pelestarian ekosistem mangrove di tengah tekanan lingkungan yang semakin meningkat.