Intens.id – Kita hendak disuarakan oleh siapa ditengah chaos hari ini. Keadaan yang tanpa batas, definisi, dan identitas. Keadaan komunikasi yang terdistorsi. Kita telah berada pada kondisi batas yang kian kabur.
Kita tidak lagi bisa membedakan presiden sebagai lembaga dengan presiden sebagai kepala negara.
Kita tidak lagi bisa membedakan prinsip dengan asas. Kita tidak lagi bisa membedakan ahli dengan amatir. Kemampuan-kemampuan inilah yang telah hilang diantara kita. Raib dan tidak kunjung dicari keberadaannya.
Sialnya lagi, menyuarakan batas kabur tersebut kian jauh. Distingsi (derajat perbedaan) tidak lagi mampu menjadi lilin keyakinan. Diantara kita yang tersisa hanya ignorant, yang tersisa hanya sebagai individu yang tidak memiliki kemampuan mengetahui fakta penting. Bahkan kita tidak mampu membedakan mana kepentingan publik dan mana kepentingan golongan.
Apa yang terjadi ketika kita kehilangan kemampuan tersebut? Kita tidak lagi mampu melihat diri sendiri melalui mata orang lain.
Selama bukan kita yang menjadi korban atas polusi, maka kita tidak lagi bersuara soal negara bertanggung jawab atas lingkungan yang sehat.
Selama bukan anak-anak kita yang terkena stunting, kita tidak lagi menyuarakan hak atas jaminan sosial.
Selama bukan kita yang kehilangan akses pendidikan, kita tidak lagi mengkritik akses pendidikan yang tidak merata.
Selama bukan kita korban dari pengabaian bpjs kesehatan hingga meregang nyawa, kita tidak lagi menyuarakan akses kesehatan yang kian diskriminatif dan mahal.
Selama bukan kita korban pelecehan, kita tidak lagi menyuarakan betapa pedihnya menjadi penyintas bahkan tidak lagi menyuarakan ruang aman bagi korban.
Selama bukan kita korban dari penyerobotan lahan, kita tidak lagi meringis kehilangan rumah sumber penghidupan.
Selama bukan kita yang dipersekusi, kita tidak lagi menyuarakan betapa sialnya kehilangan hak.
Selama bukan kita korban ketidakadilan hukum, kita tidak pernah menyuarakan bahwa keadilan harus ditegakkan walau langit akan runtuh “fiat justitia ruat caelum”.
Selama bukan kita yang dibungkam, dibreidel, kita tidak lagi berteriak fasisme.
Selama bukan kita yang gagal maka kita tidak lagi berempati atas nanar keadaan yang usaha menghianati hasil.
Selama bukan kita…
Bukankah dengan semua ini sudah saatnya kita mempertanyakan ulang, layakkah kita disebut sebangsa setanah air?
Sampai kapan rasa kekitaan terus hilang?
Sampai kapan pasif dengan semua ini?
Sikap pasif, pesimis, netral, sama saja bersepakat membiarkan penindasan, ketidakadilan, diskriminasi terus terjadi.
Mari kembali menemukan kemampuan tersebut. Kemampuan membedakan. Kemampuan merasakan. Kemampuan meragukan. Kemampuan mempertanyakan. Dengan itu semua kita mampu kembali merasakan khasiatnya berbhineka, dan kita punya banyak cara untuk memulainya.
Memulai kemampuan tersebut kita dapat dengan terang, jelas mengetahui apa peran yang dapat diambil melihat kebijakan-kebijakan yang tidak berpihak kepada ruang publik yang rasional.
Ruang publik yang berdasar pada legitimasi kekitaan, bukan atas nama golongan. Legitimasi publik yang diperoleh melalui konsensus rasional atas nama kedaulatan rakyat.
“Sungguh tidak rasional jika anak-anak kita mendapatkan makanan gratis seharga Rp. 10.000 namun kita selaku orang tua dipajak 12%. Lebih aneh lagi belum berkeluarga, ibaratnya kita sudah tidak merasakan enaknya ngewe halal eh malah disikat duluan dengan bringas oleh negara”.
Melalui kemampuan tersebut mampu menilai bahwa bukan perihal kebenaran atau kesalahannya, tetapi perihal kemanjurannya, keberhasilannya dalam menyatukan kepentingan dari suatu kelas, kelompok, dan gerakan lain ke dalam kepentingan mereka sendiri dengan tujuan membangun kehendak kolektif rakyat secara nasional.
Kita bangsa yang lahir melalui falsafah tepa selira-senasib sepenanggungan, dan negara wajib berdiri di atas falsafah tersebut. Kapan negara dalam hal ini diwakili oleh lembaga negara gagal merepresentasikan falsafah tersebut maka kita berhak merampasnya kembali, bahkan jika perlu kita revolusi. Jika Perlu.