Kisah ini bukan soal medali petualangan dalam perjalanan menaklukkan gunung seperti yang sering kita lihat di acara televisi nasional. Ini tentang Juliana De Souza Pereira Marins, seorang perempuan berusia 27 tahun. Datang jauh-jauh dari Brazil membawa semangat, mimpi, dan keberanian yang mengakhiri segala tentangnya.
Di bawah atap langit Indonesia – di tengah pesona Puncak Dewi Anjani, jalur pendakian Sembalun menuju Plawangan, Juliana jatuh tersungkur ke arah Danau Segara Anak. Bukan karena lelah, bukan karena menyerah, tapi karena takdir mengguncang pijakannya.
21 Juni 2025, Sabtu pagi. Bumi tenang itu merampas tubuh mungil Juliana dan memaksanya terseret ke jurang Cemara Nunggal sedalam 150-200 meter. Sembari menenangkan luka, ia berteriak sekencang-kencangnya meminta tolong. Setelah mendeteksi suara Juliana, tim SAR langsung melakukan pencarian di tengah cuaca dan visibilitas buruk. Nahas, Juliana tidak ditemukan di lokasi tersebut.
Sejak saat itu, meskipun doa-doa memeluknya selama dua hari, langit Pulau Lombok, Nusa Tenggara Barat tak mampu menyembunyikan sebuah kesedihan, sebab takdir tak lagi memberi Juliana jalan keluar. Berdasarkan visualisasi drone thermal, (23/6) ia ditemukan di area jurang sedalam 600 meter, dalam kondisi tergeletak, tak ada tanda-tanda kehidupan. Juliana dipastikan telah berpulang ke pangkuan sang pencipta.
Selasa malam, 24 Juni. Di persimpangan jurang yang penuh batu lepas, salah satu personil SAR bernama Fadli mulai menuruni tebing kegelapan disusul dua orang rekannya untuk membantu Agam yang tiba di bawah lebih awal. Bukan untuk menyelamatkan orang hidup, melainkan untuk menjaga dan menemani jenazah seseorang yang belum ia ajak berkenalan.
Malam itu, Fadli bersama rekannya berusaha melawan takdir. Alih-alih mengangkat jenazah korban, mereka menginap di tepi kematian untuk membangun flyng camp, seperti tenda kecil antara jurang dan maut. Matanya sulit terpejam, “tiap kali menapak longsoran terjadi, bukan hanya pasir, tapi juga batu, dari yang kecil sampai sebesar kepala,” katanya.
Apakah ketakutan malam itu yang membuatnya susah tidur atau mungkin tubuh Juliana yang diam seolah bicara dalam hening, meminta ditemani hingga benar-benar pulang. Hanya Fadli dan rekannya yang tahu.
Di atas lereng, tiga orang lagi rekannya berjaga di anchor point, sesekali memberi peringatan ketika bebatuan menggelinding. Sementara, Fadli dan rekannya yang ikut turun ke bawah tetap berada di sisi jenazah Juliana, layaknya sosok kakak yang tak akan pernah rela meninggalkan adiknya seorang diri di malam tergelap dalam hidupnya.

Pagi harinya, 25 Juni, sekitar pukul 8 WITA, Fadli beserta seluruh tim mulai mengangkat jenazah Juliana dari dasar jurang. Dengan penuh kehati-hatian, pelan-pelan, seolah mengangkat harapan yang patah. Perlahan tubuh Juliana dimasukkan ke dalam kantong jenazah. Sekitar pukul 13.51 WITA jenazah Juliana ditandu menyusuri jalur pendakian. Ini bukan lagi perjalanan menggapai puncak, tapi perjalanan menuju titik awal dimana ia memulai perjalanan. Tanpa kata, tanpa nada, rintik hujan pun menafsirkan kesedihan Kepala Basarnas, Kepala Balai TNGR, personel BPBD, TNI, serta Polri, saat menyambut jenazah Juliana di Bukit Telu.
Sebelum diangkat masuk ambulans, keluarga Juliana nun jauh di sana, di Brasil, hanya bisa menyeka air mata dalam video call menerima kabar duka ini sembari menyampaikan permintaan terakhirnya agar dilakukan autopsi. Mereka ingin tahu kapan dan bagaimana Juliana meninggal. Karena bagi mereka, mengetahui detik-detik terakhir anaknya adalah cara agar tetap hidup, meski sebagian hatinya ikut terkubur bersama putrinya.
Rencana outopsi di Rumah Sakit Bhayangkara Mataram batal, dokter forensik sedang tidak ada. Maka jenazah Juliana harus menempuh satu perjalanan lagi melalui laut, menuju Rumah Sakit Bali Mandara. Dari Pelabuhan Lembar ke Padangbai. Mungkin, itu adalah pelayanan terahir untuk Juliana di negeri ini sebelum beranjak pulang ke tanah kelahirannya di Brasil, dalam peti, dalam kondisi tak bernyawa.

Juliana bukan satu-satunya pendaki yang jatuh, tapi kisahnya menyayat lebih dalam, karena ia datang dari negeri yang jauh, tak ada keluarga, hanya membawa keberanian. Rinjani menjadi saksi bisu bahwa kadang keberanian pun bisa kalah oleh takdir.
Dan Fadli, laki-laki biasa dari Lombok Timur bersama seluruh rekannya telah mengajarkan dunia bahwa kemanusiaan tak kenal bangsa, tak kenal bahasa. Ia menjaga jenazah Juliana semalaman, bukan karena nama besar tapi karena nurani.
Setelah tragedi ini mungkin Basarnas pun akan mengevaluasi sistem penyelamatan, walaupun tak akan pernah berhasil mengevaluasi luka hati seorang ibu yang kehilangan anaknya di negeri orang tanpa salam perpisahan.
Juliana, orang asing yang tak bisa kita kenali. Tapi, malam-malam ini setelah membaca kisahnya, coba bayangkan; seorang perempuan muda, berani memeluk alam, jatuh, lalu dijaga oleh orang asing di tanah yang ia cintai. Disinilah kita sadar, dunia berputar bukan hanya karena gravitasi tapi juga empati.
Titip doa untuk Juliana. Meski raganya tak pernah turun dengan utuh, semangatnya akan terus hidup di langit Rinjani dan dihati mereka yang percaya bahwa mendaki adalah bentuk mencintai segalanya. Rest in peace Juliana De Souza Pereira Marins. Untuk seluruh Tim SAR dan relawan, you are heroes.