Atas Nama Hubungan Seks Halal
Saya akan ikut bersuara mengenai kelakuan si paling Bunda itu terkait kegemaran menikahkan anaknya dibawah umur. Pun yang membaca sekiranya tidak menjadi orang tua seperti Bunda itu.
Pertama, perihal pernikahan dibawah umur yang dinormalisasi dengan alibi hubungan seks (ngewe), perempuan selalu menjadi subjek yang paling membawa pengaruh besar. Perempuan adalah subjek yang akan menjadi partner segala hal termasuk ngewe (konon namanya ngewe halal). Perempuan secara fase kematangan seksual di usia 28 tahun, sekaligus menjadi usia dengan kematangan reproduksi yang baik.
Dibawah usia tersebut adalah usia yang rentan. Bahkan hasil penelitian menunjukkan bahwa salah satu karakteristik biologis ibu yang memiliki peran meningkatkan risiko BBLR (Bayi Berat Lahir Rendah) adalah usia ginekologi yang muda.
Sehingga jelas, hubungan kematangan reproduksi dan usia ibu saat melahirkan dengan kejadian BBLR sangat besar. Sedangkan setiap bayi yang lahir memiliki hak hidup dan tumbuh menjadi manusia yang produktif.
Nah sekarang, kalau terlalu cepat nikah, terlalu cepat ngewe halal, terlalu cepat hamil, apa nggak dzolim sama tubuh perempuan dan kondisi bayi?. Data tersebut masih berbicara soal BL (Berat Lahir), belum berbicara bagaimana fase pembentukan otak anak dalam kondisi ibu yang kematangan reproduksinya masih muda, belum soal tumbuh kembang anak, belum soal mortalitas anak.
Terlalu tolol dan konyol karena alasan menghindari zina seenak jidat mengorbankan banyak hal. Remaja kok dinikahkan. Remaja itu main, explore kegiatan, sekolah, mencari minat bakat, bukan diberi solusi ngewe halal dengan menikah dibawa umur.
Ngewe halal… ngewe halal… ngewe halal ndasmu.
Ngewe habis crot beres, yang gk beres si subjek crotmu (perempuan remaja), mikir kok impulsive, nggak mikir yang memberikan dampak jangka panjang terhadap kehidupannya di masa depan.
Kalau data soal BL bayi belum cukup, mari kita research bersama, berapa persen tingkat kematian dari anak yang lahir prematur dengan ibu yang kematangan reproduksinya masih muda. Bahkan data paling tidak valid sekalipun menunjukkan 30 kali resiko kematian dari bayi yang lahir normal dengan ibu reproduksi matang.
Tolong jangan lupa bahwa dibawah 21 tahun adalah remaja. Masa remaja awal (early adolescence) umur 11–13 tahun. Masa remaja middle adolescence umur 14 -16 tahun. Masa late adolescence umur 17–21 tahun. Bahkan setelah umur 21 tahun sekalipun perempuan belumlah layak untuk fase kematangan reproduksi.
Kedua, pernikahan dibawah umur jika boleh-boleh saja sekiranya, untuk apa Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB) merekomendasikan target setelah tahun 2015 perihal khusus tujuan pembangunan berkelanjutan untuk menghapus perkawinan usia anak dan didukung oleh 116 negara anggota? Jawaban karena pernikahan dibawah umur beresiko menghasilkan putus sekolah dan tingginya tingkat kematian ibu ketika melahirkan.
Bahkan data menunjukkan sekitar 71 % perempuan pernah mengalami kekerasan dan terbesar adalah kekerasan dalam rumah tangga. Data tersebut masih seperti fenomena puncak gunung es, lebih banyak data yang belum diketahui.
Perempuan memilih diam ketika menjadi korban KDRT alih2 menempuh jalur hukum. Hanya sekitar 15 % perempuan yang mengalami KDRT yang mampu menempuh jalur hukum. Dan penyumbang KDRT terbesar adalah dari hasil pernikahan dibawah umur.
Pasca membaca semua itu, bunda masih ngomong, saya menikahkan anak karena kondisi ekonomi sudah mapan. Bundaaaaaa, pernikahan bukan hanya perihal ekonomi, pernikahan juga perihal kematangan intelektual dan kematangan emosional.
Seberapa hebat bunda bisa menjadikan anak dibawah 21 tahun nggak mudah tantrum? Bahkan jika hendak ditrack usia 25 tahun lebih pun, masih pada gampang ngamukam tah lagi anak yang 14-15-16-17-18-19 tahun bundaaa.
Dan sekitarnya bunda pasti tahu jika kekerasan itu, bukan hanya perihal anak digampar atau tonjok doang. Tapi juga perihal kekerasan non verbal, berupa tekanan emosi, manipulasi pilihan, bahkan hingga kekerasan melalui cara perempuan dibuat memilih kesenangannya.
Bundaaa, tolong berhenti membawa kisah Aisyah r.a dalam kasus pernikahan dibawah umur, pertama zaman sudah sangat jauh berbeda, kedua perempuan tidak pada urgensi harus dinikahkan cepat/harus menerima pernikahan dengan cepat/harus menjalani pernikahan dengan cepat (kita tidak pada zaman ancaman yang dialami perempuan segila zaman itu sehingga harus menikah segera).
Ketiga nggak ada seutuhnya Rasulullah ditubuh laki-laki lain selain Rasulullah sendiri, keempat seharusnya sebagai influencer identitas religius dan etnis “dicairkan” untuk mengarahkan diri pada asas-asas moral dan prinsip universal yang lebih luas dan dapat dipastikan bahwa asas moral dan prinsip itu ialah dengan TIDAK menikahkan anak dibawah umur.
Bunda, sekali lagi, sebagai influencer bunda tidak boleh gagal dalam menemukan nilai agama. Karena bunda akan menjadi refleksi terhadap bunda-bunda lain. Sebagai bentuk kemurahan hati saya, maka berikut saya sampaikan mengapa kegagalan bisa terjadi dalam menemukan nilai agama, sekiranya dengan membaca ini bunda dapat terang pikirannya.
“Doktrin agama yang sempit dan kaku yang tidak memberi ruang kepada nilai yang lebih luas, yaitu nilai kehidupan bersama secara universal, nilai hak2 asasi manusia, nilai memperdayakan perempuan”
Demikian misuh-misuh ini diketik dengan cepat bunda, secepat bunda menikahkan anaknya, secepat bunda hendak anaknya ngewe halal alih-alih memfasilitasi anak eksplor kematangan: emosi, intelektual, hingga kematangan pengalaman dengan claim duit bunda yang banyak itu.
Ngewe halal… Ngewe halal… Ngewe halal. Aarrgggthhhh
Ngewe itu bukan cuman soal halal doang, tapi juga soal kebaikan, kemanfaatan, kemaslahatan. Ngewe sifatnya bukan hanya sebatas given yang ujug-ujug diberikan begitu saja, tapi ngewe itu bisa didiskusikan, bisa dikontrol, bisa konsensual, bisa cair, bahkan bisa ngewe halal setelah usia 28 tahun. Fuckkkkk
Teruntuk perempuan hiduplah lebih berdaya, jika dihalangi maka rampaslah, rebut, memberontaklah. Sungguh kita semua tah ubahnya manusia yang punya kesempatan untuk mengambil pilihan-pilihan hidup yang lebih berdaya.