Fenomena Bakal Kenaikan Pajak 12% Hingga Rasionalitas Perempuan

“Bagaimana jadinya jika visi misi karakter suatu bangsa menjadi bagian komoditas bisnis?”

Intens.id – Penghujung akhir tahun kita mendapatkan kado yang mencekik dengan bakal kenaikan pajak 12%. Mengapa  kado? Karena tentulah ini akan menjadi penghargaan, pemberian, hadiah kepada kelompok tertentu. Yah kelompok tertentu. Sedang mencekik inilah yang akan kita nikmati bersama.

Pajak 12% bukanlah hal yang besar ketika kita bandingkan dengan negara lain, tapi mengapa seolah ini akan besar nerakanya? Padahal jika research tujuan pajak digunakan untuk membiayai semua kepentingan umum, yang outputnya kesejahteraan masyarakat.

Atau dengan kata lain semakin besar pajak maka kesejahteraan masyarakat akan semakin besar pula. Lantas mengapa kita semua menjerit dengan kenaikan ini? Ini menandakan lanskap gaungan atas nama kesejahteraan publik melalui pajak tidak kita rasakan.

Pendidikan kian mahal, akses kesehatan menjadi barang luxury, ruang publik seperti perpustakaan umum, ruang terbuka hijau, transportasi umum yang nyaman menjadi barang langka.

Pajak alih-alih digunakan untuk memperbanyak jalur kereta api justru pemerintah memilih memperbanyak jalan tol.  Pada akhirnya kepublikan yang dihasilkan bukan lewat solidaritas, ini hanyalah kepentingan yang berkedok kepublikan (seolah atas nama kepentingan umum) padahal hanya mengenyangkan kepentingan kelompok elit.  Yah misi karakter bangsa hari ini menjadi bagian komoditas bisnis.

Belum lagi garibnya keadilan. Bahkan hierarchy tertinggi hari ini ialah “No viral no justice”, tidakkah ini sangat konyol. Bahkan sesekali saya penasaran apakah orang-orang yang sedang dan pernah sekolah hukum bisa tidur nyenyak dengan pemerkosaan akses keadilan tersebut.

Tentulah kita semua telah kehilangan ‘muka’. Makanya sangat wajar dan normal ketika kita semua mengutuk kenaikan pajak tersebut yang notabenenya tidak lagi mampu  memberikan akses yang sama.  Kita dipunguti terlalu banyak namun hasilnya hanya naik anjing. Iya naik anjing.

***

“Bagaimana jadinya jika perempuan memutuskan tidak melahirkan bayi?”

Jumlah total perempuan di Indonesia menurut BPS ialah 136.384.845, dengan total usia 20-49 tahun sebanyak 43.271.378. Dari total tersebut jumlah perempuan yang menikah hanya sebanyak 4.393.039. Sekaligus ini merupakan persentase pernikahan yang terendah di 10 tahun terakhir.

Tren penurunan pernikahan sebagai reaksi perempuan terhadap ketidakpercayaan  melihat partner hidup, fatherless, konstruksi sosial, mahalnya biaya rumah tangga, besarnya biaya membesarkan anak.

Bahkan dari 4,3 juta pernikahan sebanyak 71 ribu perempuan memilih childfree. Kini negara seperti China, Korea, Jepang mengalami hal yang serupa dan  berupaya keras membujuk perempuan untuk menikah dan memiliki anak dengan menyediakan fasilitas yang sangat baik.

Indonesia mengalami fenomena yang sama meskipun dampaknya akan mulai besar di tahun 2050. Terbukti dengan angka kelahiran semakin menurun. Total Fertility Rate (TFR) tahun 1971 sebanyak 5,61 atau seorang perempuan melahirkan sekitar 5-6 anak selama masa reproduksinya.

Tahun 1990 TFR 3,1 atau seorang perempuan melahirkan tiga anak. Tahun 2023 TFR 2,18 setara seorang perempuan melahirkan 1 atau 2 anak. Dan  tahun 2050 TFR diproyeksikan akan turun menjadi 1,95 anak per perempuan. Negara hari ini belum mampu melihat akibat kekacauan tersebut terbukti dengan kebijakan kian konyol, termasuk menaikkan  pajak 12%.

KB hari ini bukan lagi crot di luar, dengan spiral atau IUD, tapi dengan melihat biaya pendidikan anak, biaya kesehatan, biaya fun, food, fashion. Bahkan ketika memutuskan hendak menjadikan anak memiliki kualitas yang baik maka bayarannya akan jauh lebih fantastis.

Bayangin membesarkan anak perempuan saja hari ini akan menghabiskan berapa banyak coba? Saya sangat yakin perempuan kelas menengah hari ini setidaknya mengeluarkan biaya skincare perbulan paling sedikit 500 ribu (sebelum pajak 12%, setelah kenaikan akan lebih banyak lagi) belum biaya fashion, belum makan, belum healing, belum ngekafe, dan diantara semua itu paling sial ketika perempuan melek buku karena setidaknya akan mengeluarkan biaya 500-1 juta/bulan dengan tingkat adiksi yang jauh lebih besar.

Hal itu baru introduction, belum tetekbengek yang lain, belum ketika tiba-tiba ada trend labubu, trend fashion lari, fashion gunung, belum trend coklat dubai. Dan jangan berharap perempuan tidak mengikuti trend tersebut ketika perempuan tidak memiliki consciousness yang baik. Dan semua trend-trend tersebut dikenai pajak. Silahkan total sendiri butuh biaya berapa banyak untuk itu semua. Dan sepertinya akan semakin banyak pemuda/i yang enggan mengambil peran tersebut.

Perempuan memutuskan tidak mengambil peran untuk melahirkan anak adalah reaksi rasional terhadap apa yang terjadi. Keputusan tersebut sebagai reaksi setelah melihat akibat-akibat yang terjadi. Keputusan tersebut bukan sentimen belaka. Karena sentimen berupa reaksi dengan mereduksi terlebih dahulu kebenaran sebelum mencari, menetapkan, dan bereaksi terhadap kebenaran tersebut. Sedangkan keputusan perempuan ditetapkan setelah mencari kebenaran hingga sebab akibat yang terjadi.

Fenomena-fenomena demikian yang membuat perempuan enggan melahirkan anak. Jika dahulu apropriasi tubuh perempuan dimulai dari rahim maka, hari ini rahim digunakan untuk kembali merampas dan mengembalikan hak-hak sosial, termasuk hak publik melalui pajak.

 

 

Mutmainnah Basri
Mutmainnah Basri
Pegiat dan pemerhati sosial
Berita Terkait

TINGGALKAN KOMENTAR

Silakan masukkan komentar anda!
Silakan masukkan nama Anda di sini

- Advertisment -spot_img

Topik Populer

KOMENTAR TERBARU