Merawat Oposisi

“Indonesia paling tepat dijabarkan sebagai demokrasi kriminal di mana para oligark secara teratur ikut serta dalam pemilihan umum sebagai alat berbagi kekuasaan politik, sambil menggunakan kekuatan kekayaan mereka untuk mengalahkan sistem hukum dengan intimidasi dan bujukan”. Jeffrey A. Winters

Tepat 13 tahun silam Winters menyampaikan hal tersebut, dan sepertinya dasawarsa hanya berganti tapi oligark tetap tumbuh subur di negeri ini. Dominan dan mencokol dengan kuat.

Penyebab dominasi terjadi karena lemahnya oposisi. Oposisi tidak pernah benar-benar hadir di negeri ini. Terlalu asing dan bahkan dianggap tidak penting.

Padahal kekuasaan yang tidak mengarah kepada legitimasi kepentingan masyarakat sosial hanya mampu berakhir dengan dua kemungkinan: pertama, berakhir karena krisis ekonomi., kedua, berakhir karena kuatnya oposisi.

Oposisi tak ubahnya seperti kapal yang melawan arus, tujuannya bukan untuk melawan tetapi sebagai penyeimbang.

Oposisi akan curiga dan cemas jika melihat spiral kekerasan, spiral komunikasi yang terdistorsi, dominasi yang berlebihan.

Oposisi sebagai presuposisi, melangkah untuk menduga sebelum, praanggapan dalam melihat kemungkinan ringkihnya kondisi, dan abrul-adulnya yang terjadi.

Lantas siapa saja yang mungkin menjadi oposisi?

Manusia dikutuk untuk membawa citra Tuhan ‘imago dei’, berbudi luhur, ber-adi luhung.

Lebih radiks Platon menyebut manusia sebagai paideia ‘pembalikan’ dari seluruh diri (jiwanya) atau dari kondisi tidak-terdidik, tidak-berbudaya menjadi beradab, berbudaya.

Manusia yang tidak pernah menjadi tuan atau budak keserakahan yang hatinya dengan mudah condong ke sisi kebaikan.

Sekali lagi dengan citra manusia tersebut, siapa yang mungkin menjadi oposisi? Atau siapa yang harus menjadi oposisi?

Yaitu mereka para pendidik, para pemuda, para tokoh masyarakat, para agamawan, …. Sengaja saya isi titik-titik agar mampu mengisi sendiri siapa saja mereka yang harus bertanggung jawab sebagai oposisi. Dengan catatan, manusia itu imogo dei atau siapa pun yang melihat ketimpangan maka akan tersihir untuk menolak, melawan, dan marah.

Para pendidik?

Khusus para pendidik oposisi dipegang penuh oleh para Profesor atau guru besar. Karena profesor berasal dari kata profess yang berarti “secara terbuka menyatakan atau secara publik mengklaim kepercayaan, keyakinan, atau opini”. Profesor harus mampu membawa kekuatan moral dan kekuatan intelektual.

Profesor menjadi garda terdepan dalam mengkritik perselingkuhan negara dari apa yang Socrates sebut: kebijaksanaan/wisdom, keberanian/courage, disiplin/discipline, dan keadilan/justice.

Sengaja saya kemukakan tugas profesor agar kita semua mampu melempari atau meludahi mereka jika tidak sesuai dengan perannya. Dan sengaja saya memilih diksi melempari dan meludahi sebagai akibat betapa hina ketika mereka tidak menjalankan tugasnya.

Sengaja juga saya paparkan siapa saja bertugas sebagai oposisi untuk menghindari apa yang Dieter Senghaas sebut sebagai politisasi fundamental. Yaitu segala masalah politik menjadi masalah masyarakat. Atau sering kita dengar istilah ‘masalah kita bersama’.

Penerimaan asumsi ‘masalah kita bersama’ menjadikan kaburnya batas antara siapa yang bertanggung jawab, siapa yang harus memberikan solusi, siapa yang harus memecahkan masalah, dan siapa yang harus dihukum atas kesalahan tersebut.

Melenceng sedikit, seandainya saja kita paham betul batas ini, tentu saja kita akan mengutuk lebih keras para pelaku pemerkosa publik hari ini.

Sekali lagi, profesor harus mampu menyampaikan opini dengan tegas lugas di tengah krisis moral, krisis kepercayaan, krisis kebangsaan, krisis kemanusiaan, krisis kepentingan publik.

Profesor adalah oposisi. Preferensi dari para profesor harus condong pada kepentingan masyarakat sosial.

Kapan para pemangku jabatan negara tidak condong pada kepentingan tersebut maka profesor harus lantang dan lugas menyampaikan preferensinya, karena mati-hidupnya kritik dan kritis adalah dari mereka (profesor).

Profesor harus membudayakan. Sebagai inspirasi keelokan, kebaikan, dan keteladanan.

Bahkan siapapun yang berkeinginan menjadi profesor (para sarjana, master, doktor) uraian tersebut harus ditempuh. Sungguh hina ketika profesor memiliki jejak yang pernah: ‘sebagai’ pemujamu pemerintah yang korup, tidak rasional, tidak bernalar, dan tidak… (isi sendiri).

Lantas siapa lagi?

Para pemuda!

Para pemuda harus menjadi penyeimbang atau oposisi. Sumpah pemuda sebagai tonggak bahwa pemuda harus bergariskan: bertumpah darah, berbangsa, berbahasa, berbihneka yaitu Indonesia.

Pemuda harus mampu mendidik dan merawat jiwanya. Jiwa yang berlandas simpati, empati, rasionalitas. Jiwa yang mampu bergulat melawan ketidakadilan.

Serupa moralitas binatang atau dewa, tergantung bagaimana pemuda merawat dan mendidik jiwanya.

Para pemuda harusnya malu dengan sentilan dari Ariel Heryanto yang mengatakan bahwa, ‘pemuda hari ini tidak lagi di uji ketahanannya di ruang interogasi polsek karena menyuarakan hak rakyat, melainkan di uji plaza shop, perfume ternama, brand, fashion, video game, dan kesenangan yang terhegemoni’.

Seolah pemuda hari ini hanyalah pemuda yang ketika tanpa mengikuti trend sangat papa.

Jika Rene Descartes pernah berkata ‘cogito ergo sum aku berpikir, maka aku ada’ maka sepertinya sebutan pemuda hari ini lebih tepatnya menjadi ‘aku mengikuti tren, maka aku ada’.

Sekali lagi, sudah saatnya malu dengan sentilan tersebut.

Pemuda adalah tonggak bangsa. Harapan perpanjangan tangan ‘kehidupan’.

Sengaja saya beri tanda petik kata kehidupan agar pemuda tidak melupakan bahwa kehidupan yang hendak di tuju adalah kehidupan yang berkeadilan, berkemanusiaan, berkerakyatan.

Pemuda yang berhasrat menawarkan ide kehidupan yang baik, pemuda yang senewen, menggila, menerkam ketika melihat hukum diperjual belikan.

Pemuda yang berteriak ketika para penguasa mengobok-obok tatanan hukum demi para oligark dan cukong-cukong.

Pemuda, ia manusia dengan ambisi pribadi mencari jati diri dan ketenangan, namun sejalan dengan ambisi menghidupi bersama.

Sekali lagi, pemuda adalah penyeimbang. Pemuda serupa Tangan ‘Tuhan’ yang masih muda, baru, fress, dan kuat.

Pemuda, bercinta dengan banyak sekaligus mengontrol roda pemerintahan agar tetap waras.

Pemuda, sampai ketemu entah di jalan aksi bersama, atau di ruang-ruang media. Kalian adalah pengguna terbesar platform TikTok, X, Instagram, YouTube, untuk menyuarakan ketimpangan dan kecurangan para bedebah negeri ini.

Lantas, siapa lagi?

Para agamawan.

Saya akan membahas para agamawan selaku oposisi dengan memulai menggambarkan satu fenomena buzzer yang tumbuh subur akhir-akhir ini.

Buzzer, seseorang atau sekelompok orang yang menyebarkan informasi dengan tujuan mengecoh dan mempengaruhi opini publik.

Buzzer bertugas untuk menjaga ‘kebahagiaan’ para pemegang kekuasaan.

Oleh para pemegang kekuasaan merawat buzzer dengan cara: menyediakan keamanan, meramalkan dan memenuhi kebutuhan, memfasilitasi kesenangan, menyelamatkan dari kesulitan hidup.

Buzzer bersepakat, bersedia bersama menutupi perselingkuhan dan menghilangkan kecurigaan atas ‘permainan’ di negeri ini’.

Kenapa saya memulai tilikan agamawan sebagai oposisi dengan menyebutkan buzzer biangkerok karena sekiranya negeri ini mengatas namakan diri sebagai berketuhanan.

Tentulah peran agama akan mempengaruhi psikologi para pemeluknya. Agama yang akan menghindarkan dari perilaku ‘penjilat, dan munafik’.

Penjilat dan munafik adalah mereka yang seolah olah hadir untuk kepentingan publik padahal hanya mengenyangkan perut sendiri. Bahkan berani ikut merepresi, menindas siapa pun yang tidak sejalan dengan mereka.

Demikian fungsi agama. Dan fungsi agama berjalan melalui para agamawan.

Agamawan sebagai oposisi atau penyeimbang mendogmakan para pemeluknya untuk hidup sesuai perintah Tuhan.

Hidup sesuai perintah Tuhan tentu sejalan dengan kebaikan bersama dalam berbangsa.

Menurut Ernest Renan berbangsa adalah suatu solidaritas dalam skala yang besar, dibangun dengan perasaan pengorbanan-pengorbanan yang dilakukan orang di masa silam dan pengorbanan-pengorbanan yang siap dilakukan orang di masa depan. Dengan konsensus, kehendak yang dinyatakan dengan jelas untuk meneruskan suatu kehidupan bersama.

Jika hal tersebut tidak tercapai, dan oposisi tidak lahir dari orang-orang yang beragama maka sudah saatnya mempertanyakan ulang dimana agama hari ini. Kemana agamawan hari ini.

Apakah agama terjual dan laku dihadapan politik sehingga tersisa hanya nama-nama agama?

Apakah agamawan sibuk dengan urusan surga neraka sampai lupa, bahwa mereka juga harus hadir kepada manusia yang sedang di dunia namun luntang-lantung diperkosa kebijakan yang tidak ramah? Kehilangan rumah? Kehilangan hutan?

Bukankah selain agama masing-masing kita punya agama bersama yaitu Indonesia, yang kitabnya UUD, falsafahnya Pancasila, teladannya Founding Fathers, dan perayaannya berbangsa?

Sekali lagi, mari merawat oposisi. Mari menjadi oposisi. 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

Mutmainnah Basri
Mutmainnah Basri
Pegiat dan pemerhati sosial
Berita Terkait

TINGGALKAN KOMENTAR

Silakan masukkan komentar anda!
Silakan masukkan nama Anda di sini

- Advertisment -spot_img

Topik Populer

KOMENTAR TERBARU