- Penulis: Isymiarni Syarif
(Mahasiswa Program Studi Doktor Ilmu Kesehatan Masyarakat, Universitas Hasanuddin)
Intens.id – Skizofrenia merupakan penyakit kronis dengan risiko kekambuhan yang cukup tinggi. Kekambuhan adalah suatu keadaan dimana penderita skizofrenia mengalami pengulangan gejala yang telah semula sembuh. Faktor risiko utama terjadinya kekambuhan yang berasal dari penderita adalah ketidakpatuhan minum obat dan faktor keluarga.
Faktor keluarga berperan penting terhadap kekambuhan, yaitu kurangnya dukungan keluarga, expressed emotion (EE) keluarga yang tinggi, pengetahuan tentang psikosis yang buruk, stigma dari masyarakat dan ketidakmampuan keluarga merawat penderita skizofrenia. Dampak kekambuhan pada keluarga berupa peningkatan tekanan emosional dan beban keluarga yang merawatnya
Kebijakan ini bertujuan untuk meningkatkan partisipasi dan kesadaran keluarga penderita skizofrenia dalam upaya upaya promotif, preventif, kuratif, dan rehabilitatif yang berkelanjutan. Rekomendasi kebijakan juga diberikan untuk mencapai tujuan ini, termasuk pendidikan dan informasi kepada masyarakat, pemberdayaan keluarga melalui pembentukan kelompok peduli skizofrenia dan pelatihan, pemberian insentif dan penghargaan kepada keluarga yang aktif terlibat, serta kerjasama dengan sektor swasta untuk mendukung upaya upaya promotif, preventif, kuratif, dan rehabilitative pencegahan kekambuhan skizofrenia. Dengan implementasi kebijakan ini, diharapkan partisipasi dan kesadaran keluarga dalam mencegah kekambuhan skizofrenia akan meningkat, sehingga upaya promotif, preventif, kuratif, dan rehabilitatif yang berkelanjutan dapat tercapai.
Menyorot Kebijakan Penanganan Gangguan Jiwa di Indonesia
Kebijakan penanganan gangguan jiwa saat ini di Indonesia terkait dengan undang-undang kesehatan No.17 tahun 2023. Dalam undang-undang tersebut dijelaskan bahwa upaya pelayanan Kesehatan meliputi upaya Kesehatan jiwa.
Upaya Kesehatan jiwa tersebut sesuai dengan tujuan Sustainable Development Goals (SDGs) (SDGs 3) yaitu memastikan kehidupan yang sehat dan mendukung kesejahteraan untuk semua usia dengan menyasar semua tahapan kehidupan, termasuk orang dengan gangguan jiwa (ODGJ).
Orang dengan gangguan jiwa menurut Undang-Undang Kesehatan Jiwa No. 18 tahun 2014 adalah orang yang mengalami gangguan dalam pikiran, perilaku, dan perasaan yang termanifestasi dalam bentuk sekumpulan gejala dan/atau perubahan perilaku yang bermakna, serta dapat menimbulkan penderitaan dan hambatan dalam menjalankan fungsi orang sebagai manusia.
Upaya penanganan gangguan jiwa saat ini masih berfokus pada penanganan kuratif. Hal ini tidak sesuai dengan amanat Undang-Undang Kesehatan Jiwa No. 18 tahun 2014 dan undang-undang kesehatan No.17 tahun 2023 yang menjelaskan bahwa upaya penanganan gangguan jiwa harus dilakukan secara komprehensif diberikan secara menyeluruh melalui upaya promotif, preventif, kuratif, dan rehabilitatif. Ketidaksesuaian penanganan yang terjadi dimasyarakat mengakibatkan terjadinya peningkatan penderita gangguan jiwa terutama gangguan jiwa berat dalam hal ini skizofrenia.
Skizofrenia merupakan gangguan mental kronis dan parah ditandai dengan distorsi pikiran, persepsi, emosi, bahasa, rasa diri, dan perilaku dengan penderita di dunia mencapai lebih dari 21 juta orang. Prevalensi penderita skizofrenia di Indonesia mengalami peningkatan. Prevalensi skizofrenia pada tahun 2013 yaitu sebanyak 1,7 permil penduduk dan meningkat menjadi 1,8 per mil pada tahun 2018. Skizofrenia merupakan penyakit kronis dengan risiko kekambuhan yang cukup tinggi. Kemungkinan kambuh pada penderita skizofrenia adalah 60% sampai 70% dalam beberapa tahun pertama setelah diagnosis. Penelitian menyebutkan bahwa 67,1% penderita mengalami kekambuhan dan 39,2% diantaranya membutuhkan rawat inap.
Kekambuhan dapat mengakibatkan meningkatnya biaya perawatan di rumah sakit dan bertambahnya lama hari rawatan. Penelitian membuktikan bahwa rata-rata lama rawatan di rumah sakit pada penderita skizofrenia yang mengalami kekambuhan adalah 138,9 hari, sedangkan biaya perawatan yang dibutuhkan lebih dari 450 juta rupiah. Kekambuhan juga dapat meningkatkan beban klien dan keluarga yang merawatnya. Kekambuhan juga berdampak terhadap bertambah parahnya gejala, penurunan kognitif, gangguan fungsi dan penurunan kualitas hidup. Dampak kekambuhan pada keluarga berupa peningkatan tekanan emosional dan beban keuangan.
Faktor risiko utama terjadinya kekambuhan yang berasal dari penderita adalah ketidakpatuhan minum obat dan faktor keluarga. (6,9,10) Faktor lainnya adalah ketidakmampuan mengidentifikasi dan mengontrol tanda dan gejala kambuh. Faktor keluarga juga berperan penting terhadap kekambuhan, yaitu kurangnya dukungan keluarga, expressed emotion (EE) keluarga yang tinggi, pengetahuan tentang psikosis yang buruk, stigma dari masyarakat dan ketidakmampuan keluarga merawat penderita skizofrenia. (12–16). Dampak kekambuhan pada keluarga berupa peningkatan tekanan emosional dan beban keluarga yang merawatnya (17, 18).
Peran keluarga sebagai caregiver sangat penting dalam menghadapi dan mencegah gejala kambuh karena keluarga bertanggung jawab memberikan perawatan langsung kepada penderita skizofrenia dalam segala situasi (kelanjutan perawatan) (19, 20).Peran caregiver dilakukan oleh orang tua, anak, atau pasangan yang secara ikatan moral memiliki kewajiban dalam memberikan perawatan yang memiliki tugas yang berat dalam memberikan perawatan yang berkesinambungan, pengawasan minum obat, memberdayakan orang dengan skizofrenia dan dukungan untuk keluarga yang menderita skizofrenia (20,21).
Dengan demikian, pencegahan kekambuhan skizofrenia dilakukan dengan mengintervensi faktor penyebab kekambuhan skizofrenia dalam hal ini keluarga. Intervensi keluarga merupakan salah satu bentuk intervensi psikososial yang direkomendasikan oleh perhimpunan dokter spesialis jiwa dalam pencegahan kekambuhan skizofrenia. Hal ini sejalan dengan amanat undang-undang kesehatan No.17 tahun 2023 bahwa upaya Kesehatan jiwa dilaksanakan dengan mengedepankan peran keluarga dan masyarakat.
Implikasi kebijakan pelayanan Kesehatan jiwa dalam hal ini skizofrenia sebagai tatanan kesehatan dan kesejahteraan menyoroti perlunya pendekatan yang lebih strategis untuk mengimplementasikan undang-undang kesehatan No.17 tahun 2023 dengan mengedepankan peran keluarga dan masyarakat serta komprehensif melalui upaya promotif, preventif, kuratif, dan rehabilitative sehingga dapat meminimalkan terjadinya kekambuhan pada penderita skizofrenia.
Kebijakan yang Bertujuan Meningkatkan Partisipasi dan Kesadaran Keluarga dalam Upaya Pencegahan Kekambuhan Penderita Skizofrenia.
-
Undang-Undang Nomor 17 Tahun 2023 tentang Kesehatan: Undang-undang ini menyediakan kerangka hukum untuk upaya pelayanan Kesehatan jiwa. Undang-undang ini mengatur tentang upaya pelayanan Kesehatan jiwa secara komprehensif melalui upaya promotif, preventif, kuratif, dan rehabilitative dengan mengedepankan peran keluarga dan masyarakat dalam pelayanan Kesehatan jiwa.
-
Undang-Undang Nomor 18 Tahun 2014 tentang Kesehatan jiwa: Undang-undang ini menyediakan kerangka hukum untuk upaya Kesehatan jiwa. Undang-undang ini mengatur tentang kegiatan untuk mewujudkan derajat kesehatan jiwa yang optimal bagi setiap individu, keluarga, dan masyarakat dengan pendekatan promotif, preventif, kuratif, dan rehabilitatif yang diselenggarakan secara menyeluruh, terpadu, dan berkesinambungan oleh Pemerintah, Pemerintah Daerah, dan/atau masyarakat
-
Program Indonesia Sehat pendekatan keluarga (PIS PK): Indonesia memiliki program PIS-PK yang didalamnya mencakup gangguan jiwa berat (skizofrenia) diobati dan tidak diterlantarkan.
-
Indikator dalam Standar Pelayanan Minimal (SPM) yang didalamnya mencakup pelayanan Kesehatan dengan gangguan jiwa berat (skizofrenia)