Intens.id, Maros – Langit mendung menggantung di atas Maros, seolah menyimpan kesedihan panjang yang terakumulasi sepanjang tahun 2024. Pada pagi 16 Desember itu, saya menunggangi sepeda motor, melintasi 20 kilometer dari pusat kota menuju Kampung Panaikang, Kelurahan Leang-Leang, Kecamatan Bantimurung. Di sana, masyarakat setempat berkumpul dalam Musyawarah Forum Masyarakat Panaikang, sebuah momentum untuk memperjuangkan hak atas tanah yang telah lama terenggut.
Dari Patok ke Sengketa
Sejak tahun 1992, patok-patok muncul di lahan warga tanpa peringatan. Tanah yang dahulu menjadi sumber penghidupan masyarakat kini diklaim oleh pihak kehutanan sebagai bagian dari Taman Nasional Bantimurung Bulusaraung. Koordinator Forum Masyarakat Panaikang, Bapak Sakir, menceritakan bagaimana patok-patok itu awalnya hanya dianggap sepele.
“Waktu itu, kita tidak mengerti apa-apa. Pemerintah setempat malah membantu kehutanan memasang patok-patok ini. Kami pikir itu bukan masalah besar,” ungkapnya sembari menyeruput sarabba hangat.
Namun, patok itu menjadi awal dari kehilangan yang berkepanjangan. Warga dilarang mengelola kebun mereka sendiri. Lebih dari itu, akses terhadap hasil kebun seperti kayu jati atau tanaman lainnya pun semakin sulit.
“Sekarang sawah-sawah pun mulai masuk dalam klaim mereka,” lanjut Bapak Sakir dengan nada getir.
Bayang-bayang Polisi Hutan
Kehadiran Masyarakat Mitra Polisi Kehutanan (MMP) menambah tekanan. Beberapa warga lokal direkrut untuk mengawasi aktivitas masyarakat di wilayah yang diklaim sebagai kawasan taman nasional.
“Kalau kita ingin menebang pohon, mesti izin ke sana ke mari. Kadang, capek sendiri,” keluh Bapak Sakir. “Bukannya membantu, orang-orang yang seharusnya menjadi tempat mengadu malah jadi bagian dari sistem yang menekan kami.”
Ketakutan terus menghantui warga. Mereka tidak hanya kehilangan akses ke lahan, tetapi juga merasa diawasi oleh mereka yang dulunya adalah tetangga atau saudara sendiri.
Harapan yang Tersisa
Meski didera kesulitan, semangat warga untuk memperjuangkan hak mereka tetap menyala. Melalui musyawarah bersama, Forum Masyarakat Panaikang bersama aliansi organisasi sipil menyusun langkah-langkah untuk merebut kembali tanah yang menjadi sumber kehidupan mereka.
“Harapan kami sederhana: biarkan kami kembali mengelola tanah kami. Itu saja,” ujar Bapak Sakir.
Kegiatan yang digelar hari itu tidak hanya berupa diskusi serius. Workshop seni kerajinan dan pemutaran film dokumenter Tanah Moyangku karya Watchdoc menjadi pengingat bahwa perjuangan mempertahankan tanah bukan sekadar soal ekonomi, melainkan soal identitas dan keberlanjutan budaya.
Solidaritas yang Dibutuhkan
Tulisan ini bukan hanya cerita. Ini adalah ajakan. Apa yang terjadi di Kampung Panaikang bisa menjadi gambaran masa depan siapa saja. Ketika tanah menjadi komoditas, rakyat kecil sering kali menjadi pihak yang paling dirugikan.
Mari bersolidaritas. Sesama rakyat, kita mesti saling bantu. Jangan sampai air mata yang terbendung di Panaikang hari ini mengalir di tempat lain besok.
Laporan: Aan Zaputra (Buruh swasta, design grafis lepas yang mencintai membaca dan menulis)