spot_img

Palestina dan Israel; Genosida atau Perang Agama?

Muhammad Haerul Ali
(Mahasiswa FISIP Universitas Islam Makassar)

Intens.id – Konflik israel – palestina adalah salah satu konflik paling berkepanjangan dan paling kompleks di dunia modern ini memiliki akar sejarah yang mendalam lebih dari satu abad dan terus mempengaruhi kehidupan jutaan orang di timur tengah. Memahami ketegangan dan kekerasan yang sedang berlangsung di wilayah ini, kita harus melihat lebih dalam kepada faktor-faktor sejarah, politik, dan budaya yang telah berkontribusi pada konflik israel – palestina

Perseturuan Israel – palestina kembali muncul dalam beberapa hari terakhir. Hal ini di picu oleh serangan hamas palestina terhadap israel di wilayah selatan jalur gaza. Serangan di perkirakan terjadi untuk membalas berbagi tekanan dan serangan yang di lakukan israel terhadap palestina selama bertahun – tahun. Hingga saat ini korban konflik palestina israel dikabarkan telah mencapai 1.500 korban orang palestina meniggal dunia dan lebih dari 7.000 orang mengalami luka-luka. Pihak israel menyebutkan sekitar 1.300 orang israel tewas dan sekitas 3.400 orang terluka.

Konflik utama antara israel dan palestina adalah adanya upaya pencaplokan lahan oleh israel yang membuat orang-orang palestina terancam terusir dari lahan yang telah mereka tempati ratusan tahun sebelumnya. Konflik ini juga merupakan implikasi dari berakhirnya perang dunia 1 dimana kekhalifaan turki ottoman runtuh dan dikuasai inggris.

Di palestina terdapat penduduk beragama yahudi, pun demikian di israel yang tidak sedikit terdapat penduduk yang memeluk islam. Tanah palestina yang sudah tidak utuh sejak deklarasi balfour yang semakin dipersempit hingga kini menginginkan tanah air mereka secara utuh, begitu juga israel. Maka dapat dikatakan konflik ini seperti timbul tenggelam, terkadang meletus berperang kemudian damai sementara. Suatu konflik dapat terulang kembali.

Mengangkat kembali sejarah surat deklarasi Balfour surat tersebut bertulisan perjanjian di kenal dengan ”Deklarasi Balfour”, pada tanggal 2 November 1917 terdapat sebuah perjanjian yang dikeluarkan oleh pemerintah inggris untuk mendukung pendirian rumah nasional bagi orang-orang yahudi di palestina. Perjanjian ini di kenal dengan ”Deklarasi Balfour” yang di kemudian hari memunculkan penjajahan terhadap tanah palestina.

Arthur Balfour kepada Walter Rothschild yang berisi Deklarasi Balfour. Isi deklarasi tersebut berbunyi:

Pemerintahan Sri Baginda Raja memandang baik pendirian sebuah kediaman nasional bagi bangsa Yahudi di Palestina, dan akan menggunakan upaya terbaik mereka untuk memfasilitasi pencapaian tujuan ini, dengan pemahaman yang jelas bahwa tidak ada yang akan dilakukan yang dapat merugikan hak-hak sipil dan agama komunitas non-Yahudi yang sudah ada di Palestina, atau hak-hak dan status politik yang dinikmati oleh orang-orang Yahudi di negara lain manapun.

Apakah Ini Genosida?

Beberapa asumsi menyatakan konflik israel palestina adalah sebuah tudingan upaya genosida dan ini menjadi sebuah hal yang sangat serius. Penentuan apakah suatu tindakan dapat di sebut di adil sebagai genosida harus di lakukan secara hati-hati. Bagaimanapun, genosida merupakan kejahatan terberat yang dapat dilakukan oleh manusia terhadap umat manusia lainnya

Genosida berasal dari bahasa yunani, geno, yang berarti bangsa atau ras, dan bahasa latin, cidium, yang berarti membunuh, genosida merupakan upaya untuk memusnahkan sebuah kelompok dari muka bumi. Meskipun sudah terjadi sejak awal mula peradaban manusia, upaya internasional atas pencegahan dan pengadilan terhadap genosida baru terjadi sesuai peran dunia ke 2 dengan ini masyarakat di seluruh dunia beberapa pro kontra dengan salah satu pihak tersebut.

Seusai Perang Dunia II, dunia tergerak untuk mencegah manusia melakukan kejahatan yang sedemikian kejam dan mengerikan. Oleh sebab itu, pada 9 Desember 1948, Perserikatan Bangsa-Bangsa yang baru saja terbentuk kala itu mengesahkan Konvensi atas Pencegahan dan Hukuman terhadap Kejahatan Genosida (Konvensi Genosida).

Pasal 2 konvensi itu mendefinisikan genosida sebagai segala macam tindakan yang dilakukan dengan niat untuk menghancurkan, secara keseluruhan atau sebagian, sebuah kelompok bangsa, etnis, ras, atau agama. Adapun tindakan menghancurkan yang dimaksud antara lain: (1) membunuh anggota kelompok tersebut; (2) menyebabkan luka fisik atau mental yang serius terhadap anggota kelompok; (3) secara sengaja menimbulkan kondisi hidup kelompok yang dapat mengakibatkan kemusnahan fisik seluruhnya atau sebagian; (4) menghalangi terjadinya kelahiran di dalam kelompok; dan (5) memindahkan anak-anak kelompok ke kelompok lainnya secara paksa.

Dari definisi tersebut, dapat dilihat bahwa terdapat dua elemen utama dalam genosida. Pertama adalah elemen fisik dan yang kedua merupakan elemen mental. Elemen fisik adalah segala hal yang tercakup dalam lima tindakan menghancurkan sebagaimana telah disebutkan. Untuk elemen mental berpusat pada niat khusus atau dolus specialis pelaku untuk melenyapkan kelompok target genosida dari muka bumi.

Dari 153 negara, termasuk Israel dan Palestina, telah meratifikasi konvensi tersebut, genosida tetap terus terjadi. World without Genocide mencatat, sudah terjadi 19 dugaan upaya genosida pada kurun 1948 sampai sekarang. Sejauh ini, empat kejadian di antaranya sudah dinyatakan sebagai genosida oleh pengadilan internasional, yakni Genosida Rwanda 1994, Genosida Bosnia 1992-1995, Genosida Kamboja 1975-1979, dan Genosida Darfur 2003-2005. BBC melansir, setidaknya 33 orang telah dinyatakan bersalah atas kejahatan genosida, dengan rincian 29 orang di Rwanda, 2 orang di Bosnia, dan 2 orang di Kamboja. Adapun satu-satunya terdakwa Genosida Darfur, yakni Omar al-Bashir, masih belum menjalani pengadilan.

Dilihat dari putusan pengadilan, sebagian besar di antara pelaku dinyatakan melanggar tiga dari lima elemen fisik genosida, yakni membunuh, menyebabkan luka fisik dan mental yang serius, dan menciptakan kondisi yang mengarahkan kelompok pada kemusnahan fisik. Ketika dilihat kembali kepada konteks pertempuran di Gaza, baik Israel maupun Hamas tampak telah melakukan hal yang lebih kurang sama.

Tindakan membunuh dan menyebabkan luka fisik atau mental yang serius terhadap kelompok Palestina secara gamblang dapat dilihat dari korban jiwa dan luka yang diderita oleh warga Palestina dan Israel sepanjang perang. Namun, terdapat ketimpangan yang mencolok antara korban Palestina dan Israel. Jumlah total korban Palestina kini telah mencapai delapan kali lipat untuk korban tewas dan lima kali lipat untuk korban luka dibandingkan korban dari pihak Israel.

Apakah Ini Perang Agama?

Salah satu fakor agama yang sering menjadi pemicu konflik adalah soal status dan kedudukan situs-situs suci bagi kedua agama, terutama di yerusalem. Kota ini memiliki tempat tempat bersejarah dan suci bagi kaum yahudi, nasrani, dan islam, seperti tembok ratapan, gereja makam kudus dan masjid al-aqsah masalahnya beberapa situs ini berada di lokasi yang sama atau berdekatan, sehingga menimbulkan persaingan dan klaim ekslusif atas nya misalnya, masjid al-aqsah berada diatas runtuhan bait suci yahudi, yang menjadi sasaran parah nasionalis yahudi yang ingin membangun kembali kuil tersebut

Hal inilah yang kemudian menjadi sering memicu polemik dan kekerasan antara umat islam dan yahudi, faktor lain yang mempengaruhi konflik adalah narasi-narasi apokaliptik dan eskatologis dari kedua yang mengaitkan konflik ini dengan akhir zaman dan kedangatan mesias. Ada beberapa kelompok ekstremis yahudi dan islam percaya perang ini adalah bagian dari akhir zaman untuk memenuhi nubuat-nubuat suci, dan bahwa mereka harus berjuang untuk mempercepat kedatangan mesias atau imam mahdi.

Peran agama untuk membawa kedamaian harusnya bukan hanya muncul pada saat kritis perang muncul, namun dalam komunitas yang paling di bawah. Refleksi iman harus Nampak dalam kehidupan sehari-hari dalam mewujudkan kasih dan damai.

Perang selalu berdampak buruk terhadap kehidupan manusia, di mana tangis dan air mata hampir selalu diikuti dengan dendam dan aksi pembalasan. Agama harus menjadi wisdom bagi pemimpin-pemimpin negara dalam memutuskan perang, dan tidak menjadikan agama alat legitimasi untuk memerangi negara lain.

Meskipun agama memiliki pengaruh yang signifikan dalam konflik ini, tidak tepat untuk menyebutnya sebagai perang agama. Dikutip dari laman Wilson Center, konflik ini pada dasarnya adalah sengketa atas tanah dan kedaulatan, yang melibatkan dua bangsa yang memiliki sejarah, budaya, dan aspirasi yang berbeda.

Agama sering menjadi proksi atau simbol bagi sengketa tersebut, yang memperkuat identitas dan legitimasi kedua belah pihak. Namun, agama juga bisa menjadi sumber dialog dan rekonsiliasi, jika dipahami dan diterapkan dengan benar.

Salah satu bukti bahwa konflik ini bukan perang agama adalah adanya keragaman dan pluralism di dalam masing-masing pihak. Tidak semua orang Israel adalah Yahudi, dan tidak semua orang Palestina adalah muslim. Ada juga orang-orang  Kristen, Druze, Bahai, dan lain-lain yang tinggal di wilayah konflik. Bahkan, di antara orang-orang Yahudi dan Muslim, ada banyak aliran dan pandangan yang berbeda, mulai dari yang sekuler, moderat, hingga radikal.
Oleh karena itu, tidak tepat untuk menggeneralisasi atau menghomogenkan kedua belah pihak berdasarkan agama mereka. Selain itu, konflik ini juga dipengaruhi oleh faktor-faktor lain yang tidak berhubungan dengan agama, seperti politik, ekonomi, sosial, dan militer.
Misalnya, konflik ini dipicu oleh pembentukan negara Israel pada tahun 1948, yang dianggap oleh orang-orang Palestina sebagai penjajahan dan pengusiran dari tanah air mereka.

Konflik ini juga dipengaruhi oleh campur tangan negara-negara lain, seperti Amerika Serikat, Rusia, Iran, Turki, dan Arab Saudi, yang memiliki kepentingan dan agenda masing-masing di kawasan tersebut.

Banyak anggapan bahwa alasan konflik kedua negara adalah dikarenakan agama. Namun, dosen prodi Hubungan Internasional (HI) Universitas Muhammadiyah Malang (UMM), Septifa Leiliano Ceria menegaskan bahwa konflik dua negara ini bukanlah konflik agama.

Bila diproporsikan dengan total populasi Palestina di Gaza sebesar 2,17 juta jiwa pada 2022, setidaknya sebanyak 50 dari 10.000 penduduk Gaza telah tewas selama sebulan terakhir. Angka ini sangat kontras jika dibandingkan dengan Israel, di mana proporsi korban tewas Israel dibandingkan total populasi penduduknya adalah 2 dari 10.000 orang.

Fakta bahwa 67 persen di antara korban Palestina merupakan anak-anak dan perempuan kian menunjukkan bahwa Israel tidak memiliki niatan untuk mengecualikan permukiman dari serangan udara mereka. Hal serupa pernah terjadi dalam Genosida Darfur, Sudan, di mana pesawat udara pemerintah Sudan mengebom warga sipil secara membabi buta. Diperkirakan setidaknya 200.000 warga sipil di Darfur meninggal akibat genosida tersebut.

Israel juga secara sengaja menciptakan kondisi hidup warga Palestina menuju pada kemusnahan fisik, yakni melalui blokade total terhadap Gaza. Data statistik dari Kantor PBB untuk Urusan Kemanusiaan (OCHA) menunjukkan, pasokan pangan, air bersih, listrik, hingga bahan bakar Palestina di Gaza sangat bergantung pada akses gerbang perbatasan yang dikontrol oleh Israel

Ketergantungan tersebut tercipta karena Israel mengontrol penuh perbatasan darat, udara, dan laut Gaza dengan dunia luar. Tak pelak, ketika akses itu ditutup Israel, praktis Gaza kehilangan mayoritas sumber penunjang kehidupan mereka. Di samping itu, serangan udara Israel juga terbukti menghancurkan kapal nelayan, tempat pembuatan roti, dan pabrik penyulingan air, rumah sakit, hingga tempat pengungsian.

Alhasil, kombinasi dari blokade total dan kerusakan infrastruktur penunjang kehidupan di Gaza membuat jutaan warga Palestina di sana kian berada dalam bayang-bayang kemusnahan akibat kelaparan, dehidrasi, dan penyakit Hal ini semakin diperparah dengan 1,5 juta orang yang harus tinggal di tenda-tenda pengungsian karena tempat tinggal mereka sudah rata menjadi puing-puing.

Merujuk dari pembahsan di atas kita bisa tarik kesimpulan konflik yang terjadi antara Israel dan palestina bisa di katakan bentuk kejahatan berat  (genosida) karena dalam konflik ini memiliki dampak yang mendalam terhadap kesejahteraan mental, fisik, dan sosial rakyat Palestina. Tindakan kekerasan yang sistematis dan berulang kali dilakukan oleh Israel telah menyebabkan trauma kolektif yang melanda rakyat Palestina. Rasa takut, kecemasan, dan depresi menjadi ciri kehidupan sehari-hari. Selain itu, infrastruktur dasar seperti air bersih, akses ke layanan medis, dan pendidikan sering kali menjadi terbatas, yang memperburuk kondisi kesehatan fisik dan pengembangan generasi muda. (*)

spot_img
BERITA TERKAIT

TINGGALKAN KOMENTAR

Silakan masukkan komentar anda!
Silakan masukkan nama Anda di sini

- Advertisment -spot_img

Topik Populer

spot_img

KOMENTAR TERBARU