BerandaEssaiPost-Modernisme Hingga Critical Legal Studies

Post-Modernisme Hingga Critical Legal Studies

Intens.id – Kekacauan (chaos) pada hakikatnya bukan berupa api yang menghanguskan, melainkan sebuah keadaan dimana segala hal menjadi tanpa: definisi, batas, dan identitas.

Berangkat dari aforisme tersebut dapat dipahami bersama betapa penting dalam memahami suatu fase dan pola yang ada. Pemahaman yang radiks berupa yang esensial dan eksistensial sebagai cara dalam mencapai tujuan, cita, hingga fungsi yang ada.

Menyoal fungsi atau peran filsafat dalam hierarki kehidupan merupakan hal yang sangat fundamental, sebagaimana peran filsafat sebagai tool dari semua cabang ilmu pengetahuan. Filsafat erat kaitannya dengan mempertanyakan hal-hal yang tidak punya jawaban sehingga men-trigger pemahaman untuk mencari tahu lebih radiks. Filsafat merupakan Ibu dari segala pengetahuan, meskipun sains mengkritik bahwa ‘Ibu’ belum tentu lebih tahu dari pada anak.

Filsafat sebagai gerbang pertama untuk memahami subjek atau objek secara komprehensif (menyeluruh, lengkap, general), secara fundamental (pokok, esensial, primer, radikal), secara spekulatif (hipotesis, teoritis) dan secara kritis.

Filsafat jika objek kajiannya adalah hukum, maka akan di cover dalam filsafat hukum. Filsafat hukum bukan merupakan barang jadi atau bukan produk (hasil) melainkan meta-meta teori yang terus akan berkembang seiring pemahaman akan sesuatu, pada bagan Bruggink disebut dengan istilah genetives subjektives.

Genetives subjektives terus berkembang seiring spirit yang terus tumbuh. Adanya fase kehidupan yang terus bergerak dinamis dari mistisem, skolastik, enlightement, hingga kini pada fase post-modern. Setiap fase akan selalu lekat erat dengan konteks pemikiran zamannya pun pada fase post-modern. Post-modernism yang lahir sejak akhir abad 20 sebagai feedback dari kegagalan modernisme dalam memahami segala cakupan manusia yang konsumtif dan kian tidak humanis.

Dasar post-modernism berupa mempertanyakan ide, teori, gagasan, kebenaran, dan praktik kebudayaan hukum untuk mengungkap kepalsuan guna memunculkan pemahaman, teori, gagasan, dan praktik budaya hukum yang baru dengan corak melawan kemapanan.

Dalam bidang hukum, kegagalan: positivisme, realisme, dan legalisme, makin kian terlihat dalam variabel kehidupan, sehingga postmodernism dalam bidang hukum mulai memperkenalkan alternatif berupa memperjuangkan kelompok rentan yang terpinggirkan, minoritas, perempuan, dan segala rasialisme yang ada.

Post-modernisme dalam bidang hukum atau dikenal dengan Postmodernisme Jurisprudensi dengan gerakan Critical Legal Studies berupa kritik yang radisk terhadap pemikiran yang mainstream akan warisan positivisme dan realisme hukum  yang dianggap telah usang, dominatif, manipulatif, dan menindas. Critical Legal Studies melihat bahwa positivisme dan realisme hukum tidak lebih dari permainan politik belaka, atau hukum hanya sebagai variabel yang dependen atau variabel yang dipengaruhi dari ex (politik, relasi kuasa, hierarki dominasi).

Critical Legal Studies lebih jauh menelisik bahwa ketika hukum sebagai variabel yang dipengaruhi ex maka, hukum tidak dapat berpihak kepada the self (diri yang lain/kelompok rentan) sehingga perlu ada dekonstruksi ulang. Ketika hukum didekonstruksi ulang maka hukum tidak lagi rigid, kaku, tekstual tetapi dapat dibangun secara sosial berupa (lebih cair, abstrak, plural, beragam, dan tidak absolut) karena hukum pada dasarnya tidak lepas dari legal process.

Legal process dalam postmodernisme hukum atau critical legal srudies bahkan terus sentimen kepada hal-hal yang antroposentris (meletakkan manusia sebagai pemilik kuasa/superior) dengan mulai memberikan gebrakan baru yang ekosentris berupa segala variabel yang ada di muka bumi baik manusia laki-laki/perempuan, hewan, tumbuhan adalah sebagai subjek variabel yang harus mendapatkan perlindungan tanpa diskriminatif melalui akses yang sama.

Critical Legal Studies (CLS) juga menilai bahwa pemikiran hukum hari ini selain antroposentris juga melihat bahwa hukum hanya dibuat sebatas untuk kelompok elit yang mapan secara ekonomi dan politik. Hukum hanya sebatas topeng yang mengaku netral dan adil tetapi tak lain hanya tipuan belaka dengan menjadi tameng pembela kelompok yang mapan. Sehingga CLS melihat bahwa akar rumput dari ruwetnya peristiwa hari ini adalah adanya eksistensi perihal life style.

Life style yang kian merebak sehingga mendorong hasrat manusia untuk mencapai yang tidak terbatas, juga adanya krisis akan radiksnya mempertanyakan subjektivitas-objektivitas para penegak hukum, bahkan adanya pemisahan publik dan private, antara prinsip dan praktik, antara legalitas hukum dan praktik hukum, membuat hukum tidak kohoren dan adil sehingga gap antara hukum dan society semakin jauh.

Oleh karena itu, post-modernism hukum atau CLS melakukan interpretasi ulang berupa pembalikan hukum dari utilitas ke libertarian, dari ethics of right ke ethic of care, dari universalitas ke lokalitas, dari makna tunggal ke makna plural, dari penalaran hukum ke interpretasi hukum, dari otoritarianism ke publik, hingga dari elit ke massa.

Tumbuhlah postmodernism hingga akar rumput lini kehidupan, agar gaunganmu tidak hanya sebatas babak yang telah berlalu dalam sejarah gagasan.

Mutmainnah Basri
Mutmainnah Basri
Mahasiswi Pasca Sarjana Universitas Hasanuddin
BERITA TERKAIT

TINGGALKAN KOMENTAR

Silakan masukkan komentar anda!
Silakan masukkan nama Anda di sini

- Advertisment -spot_img

Topik Populer

KOMENTAR TERBARU