Intens.id, Jakarta – Mahkamah Konstitusi (MK) telah mengeluarkan putusan krusial yang akan mengubah format penyelenggaraan pemilihan umum (Pemilu) di Indonesia mulai tahun 2029. MK memutuskan bahwa keserentakan Pemilu yang konstitusional adalah dengan memisahkan penyelenggaraan Pemilu nasional (anggota DPR, anggota DPD, dan presiden/wakil presiden) dari Pemilu daerah atau lokal (anggota DPRD provinsi/kabupaten/kota serta gubernur/wakil gubernur, bupati/wakil bupati, dan walikota/wakil walikota).
Dengan putusan ini, sistem “Pemilu 5 kotak” yang selama ini dikenal tidak akan lagi berlaku. Keputusan ini tertuang dalam Putusan Nomor 135/PUU-XXII/2024 yang diajukan oleh Perkumpulan untuk Pemilu dan Demokrasi (Perludem), dan dibacakan dalam Sidang Pengucapan Putusan pada Kamis, 26 Juni 2025, di Ruang Sidang Pleno MK.
Tujuan Putusan: Pemilu Berkualitas dan Kemudahan Pemilih
Wakil Ketua MK, Saldi Isra, menjelaskan bahwa penentuan keserentakan ini bertujuan untuk mewujudkan pemilihan umum yang berkualitas, serta memperhitungkan kemudahan dan kesederhanaan bagi pemilih dalam melaksanakan hak pilihnya sebagai wujud pelaksanaan kedaulatan rakyat.
“Semua model penyelenggaraan pemilihan umum, termasuk pemilihan gubernur/wakil gubernur, bupati/wakil bupati, dan walikota/wakil walikota yang telah dilaksanakan selama ini tetap konstitusional,” tegas Saldi Isra, menekankan bahwa putusan ini berlaku untuk penyelenggaraan Pemilu di masa mendatang.
Mahkamah juga mempertimbangkan belum adanya perubahan atas Undang-Undang Nomor 7 Tahun 2017 tentang Pemilihan Umum (UU Pemilu) oleh pembentuk undang-undang, meskipun telah ada Putusan MK Nomor 55/PUU-XVII/2019 sejak Februari 2020. Selain itu, pembentuk undang-undang juga sedang mempersiapkan reformasi terhadap seluruh undang-undang terkait Pemilu.
Masalah Pembangunan Daerah dan Pelemahan Partai Politik
Dalam pertimbangan hukumnya, MK menyoroti beberapa permasalahan yang timbul akibat Pemilu serentak saat ini. Salah satunya adalah waktu penyelenggaraan Pemilu presiden/wakil presiden dan legislatif yang berdekatan dengan Pemilu kepala daerah, menyebabkan minimnya waktu bagi rakyat/pemilih menilai kinerja pemerintahan.
Lebih lanjut, dengan rentang waktu yang berdekatan dan penggabungan Pemilu anggota DPRD dalam keserentakan Pemilu nasional, masalah pembangunan daerah cenderung “tenggelam” di tengah isu nasional. Mahkamah menegaskan bahwa pembangunan di setiap provinsi dan kabupaten/kota harus tetap menjadi fokus dan tidak boleh diabaikan.
Hakim Konstitusi Arief Hidayat menambahkan, tahapan Pemilu nasional yang berdekatan dengan Pemilu kepala daerah berdampak pada partai politik, khususnya dalam mempersiapkan kader untuk kontestasi.
“Partai politik mudah terjebak dalam pragmatisme dibanding keinginan menjaga idealisme dan ideologi partai politik,” ujar Arief.
Jadwal yang padat juga menyebabkan partai politik tidak memiliki cukup waktu untuk merekrut calon anggota legislatif di tiga tingkatan sekaligus, bahkan harus mempersiapkan kader untuk Pemilu presiden/wakil presiden. Hal ini, menurut Arief, berujung pada pelemahan pelembagaan partai politik dan membuka lebar peluang perekrutan berbasis transaksional, menjauhkan Pemilu dari proses ideal dan demokratis.
Kualitas Penyelenggaraan dan Kejenuhan Pemilih
Arief juga menyoroti impitan tahapan Pemilu, seperti yang terjadi pada Pemilu 2024, yang menyebabkan tumpukan beban kerja penyelenggara Pemilu. Kondisi ini, kata Arief, berpengaruh terhadap kualitas penyelenggaraan Pemilu. Selain itu, masa jabatan penyelenggara Pemilu menjadi tidak efisien karena hanya melaksanakan “tugas inti” sekitar 2 tahun.
Dari sisi pemilih, Saldi Isra menyatakan bahwa waktu Pemilu yang berdekatan berpotensi membuat pemilih jenuh dengan agenda Pemilu.
“Fokus pemilih terpecah pada pilihan calon yang terlampau banyak dan pada saat yang bersamaan waktu yang tersedia untuk mencoblos menjadi sangat terbatas. Kondisi ini, disadari atau tidak, bermuara pada menurunnya kualitas pelaksanaan kedaulatan rakyat dalam pemilihan umum,” jelas Saldi.
Jarak Waktu Pemilu dan Masa Transisi
Mengenai jarak waktu antara penyelenggaraan Pemilu nasional dengan Pemilu daerah, MK tidak dapat menentukannya secara spesifik, namun menyerahkannya pada hal-hal teknis tahapan Pemilu.
Mahkamah berpendapat bahwa pemungutan suara untuk memilih anggota DPRD dan kepala daerah dilaksanakan secara serentak dalam waktu paling singkat 2 tahun atau paling lama 2 tahun 6 bulan sejak pelantikan anggota DPR dan DPD atau sejak pelantikan Presiden/Wakil Presiden.
Adapun pengaturan masa transisi/peralihan masa jabatan kepala daerah/wakil kepala daerah hasil pemilihan 27 November 2024, serta masa jabatan anggota DPRD provinsi/kabupaten/kota hasil pemilihan 14 Februari 2024, sepenuhnya menjadi kewenangan pembentuk undang-undang. Pembentuk undang-undang diminta untuk melakukan rekayasa konstitusional (constitutional engineering) sesuai dengan prinsip perumusan norma peralihan atau transisional.
Amar Putusan: Kabul Sebagian
Dalam Amar Putusannya, Mahkamah menyatakan:
Pasal 167 ayat (3) UU Pemilu bertentangan dengan UUD 1945 dan tidak mempunyai kekuatan hukum mengikat secara bersyarat sepanjang ke depan tidak dimaknai, “Pemungutan suara dilaksanakan secara serentak untuk memilih anggota Dewan Perwakilan Rakyat, anggota Dewan Perwakilan Daerah, Presiden/Wakil Presiden, dan setelahnya dalam waktu paling singkat 2 (dua) tahun atau paling lama 2 (dua) tahun 6 (enam) bulan sejak pelantikan anggota Dewan Perwakilan Rakyat dan anggota Dewan Perwakilan Daerah atau sejak pelantikan Presiden/Wakil Presiden dilaksanakan pemungutan suara secara serentak untuk memilih anggota Dewan Perwakilan Rakyat Daerah provinsi, anggota Dewan Perwakilan Rakyat Daerah kabupaten/kota, dan gubernur/wakil gubernur, bupati/wakil bupati, dan walikota/wakil walikota pada hari libur atau hari yang diliburkan secara nasional”.
Pasal 347 ayat (1) UU Pemilu bertentangan dengan UUD 1945 dan tidak mempunyai kekuatan hukum mengikat secara bersyarat sepanjang ke depan tidak dimaknai, “Pemungutan suara diselenggarakan secara serentak untuk memilih anggota Dewan Perwakilan Rakyat, anggota Dewan Perwakilan Daerah, Presiden/Wakil Presiden, dan setelahnya dalam waktu paling singkat 2 (dua) tahun atau paling lama 2 (dua) tahun 6 (enam) bulan sejak pelantikan anggota Dewan Perwakilan Rakyat dan anggota Dewan Perwakilan Daerah atau sejak pelantikan Presiden/Wakil Presiden diselelenggarakan pemungutan suara secara serentak untuk memilih anggota Dewan Perwakilan Rakyat Daerah provinsi, anggota Dewan Perwakilan Rakyat Daerah kabupaten/kota, dan gubernur/wakil gubernur, bupati/wakil bupati, dan walikota/wakil walikota”.
Pasal 3 ayat (1) Undang-Undang Nomor 8 Tahun 2015 tentang Perubahan Atas Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2015 bertentangan dengan UUD 1945 dan tidak mempunyai kekuatan hukum mengikat secara bersyarat sepanjang ke depan tidak dimaknai, “Pemilihan dilaksanakan secara serentak di seluruh wilayah Negara Kesatuan Republik Indonesia untuk memilih anggota Dewan Perwakilan Rakyat Daerah provinsi, anggota Dewan Perwakilan Rakyat Daerah kabupaten/kota dan gubernur/wakil gubernur, bupati/wakil bupati, dan walikota/wakil walikota yang dilaksanakan dalam waktu paling singkat 2 (dua) tahun atau paling lama 2 (dua) tahun 6 (enam) bulan sejak pelantikan anggota Dewan Perwakilan Rakyat dan anggota Dewan Perwakilan Daerah atau sejak pelantikan Presiden/Wakil Presiden”.
“Menyatakan Pasal 3 ayat (1) Undang-Undang Nomor 8 Tahun 2015 […] bertentangan dengan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 dan tidak mempunyai kekuatan hukum mengikat secara bersyarat,” tandas Ketua MK Suhartoyo saat membacakan amar putusan.