Intens.id, Surakarta — Mahasiswa Universitas Sebelas Maret (UNS) Surakarta, Jawa Tengah, bersama pegiat lingkungan dari Ecoton, menyerukan kampanye “Stop Plastik Sekali Pakai” sebagai respons terhadap masifnya pencemaran plastik. Gerakan ini digalakkan pada Rabu, 25 Juni 2025, dalam semangat peringatan Hari Lingkungan Hidup.
UNS Gagas Diskusi Publik untuk Bendung Banjir Mikroplastik
Diskusi publik yang digagas oleh Sekolah Pascasarjana UNS menjadi forum bagi para ahli untuk menyuarakan keprihatinan dan solusi terhadap ancaman polusi plastik. Prof. Dr. rer.nat Sajidan M.Si, Dekan Sekolah Pascasarjana UNS, menegaskan pentingnya menjaga bumi sebagai titipan.
“Bumi ini adalah titipan yang harus dikembalikan dalam bentuk yang baik,” ujarnya.
Ia juga menyoroti urgensi inovasi dalam menciptakan plastik hayati dari singkong, kentang, dan ubi sebagai alternatif ramah lingkungan.
Ancaman mikroplastik menjadi perhatian utama. Prof. DR. Mohammad Masykuri M.Si, Kepala Program Studi S2 Ilmu Lingkungan UNS, menjelaskan bahwa partikel berukuran kurang dari 5 mm ini telah ditemukan di sungai, udara, dan biota. Bahkan, mikroplastik berukuran femto, yang lebih kecil dari 0,2 mikrometer, mampu menembus sel tubuh manusia.
“Mikroplastik disebut sebagai ‘cocktail of contaminants’ karena sifatnya yang aktif menyerap polutan berbahaya
,” jelas Prof. Masykuri, menganjurkan gaya hidup “reuse” dan pengurangan konsumsi plastik sekali pakai.
Prediksi mengerikan tentang polusi plastik di masa depan turut dibahas oleh DR. Dewi Gunawati S.H., M.Hum, Dosen Hukum Lingkungan UNS. Ia memaparkan bahwa pada tahun 2040, polusi plastik diprediksi mencapai 23-27 ton, mengancam perairan dan rantai makanan.
Menurutnya, dibutuhkan komitmen kuat dari setiap individu untuk menumbuhkan “sense of belonging” terhadap lingkungan dan memulai gerakan pengurangan plastik dari diri sendiri secara berkelanjutan.
Hentikan Aliran Polusi dari Hulu ke Hilir
Puncak acara ditutup dengan aksi simbolis lebih dari 100 peserta yang berfoto bersama di depan replika kran raksasa yang mengucurkan botol plastik. Alaika Rahmatullah, koordinator kampanye Ecoton, menjelaskan filosofi di balik instalasi ini.
“Kran ini menggambarkan polusi plastik yang terus mengucur dan mencemari bumi. Untuk menghentikannya, kita perlu menutup kran atau menghentikan sumber polusinya,” terangnya.
Menurut Alaika, menghentikan polusi plastik dari hulu memerlukan:
Regulasi Pemerintah: Pemerintah harus membuat regulasi ketat untuk mengurangi penggunaan plastik sekali pakai, seperti larangan penjualan air minum dalam kemasan di bawah 1 liter yang telah diterapkan di Bali.
Tanggung Jawab Produsen: Produsen didorong untuk tidak lagi memproduksi kemasan saset dan bertanggung jawab atas sampah kemasan yang mereka hasilkan.
Kesadaran Konsumen: Konsumen harus aktif mengurangi pemakaian plastik sekali pakai seperti saset, styrofoam, tas kresek, dan botol air minum dalam kemasan.
Prigi Arisandi, pendiri Ecoton, menambahkan bahwa ancaman mikroplastik sangat nyata. Kajian Ecoton menemukan mikroplastik dalam air ketuban, air susu ibu, kotoran manusia, dan kulit manusia.
“Mikroplastik dalam tubuh akan mengganggu hormon dan berdampak pada gangguan reproduksi, imun, dan metabolisme,” ungkap Prigi. Oleh karena itu, Indonesia sangat membutuhkan baku mutu pembatasan mikroplastik dalam air minum dan makanan laut.
Gerakan STOP plastik sekali pakai dari mahasiswa UNS ini adalah seruan bagi kita semua untuk melihat dan bertindak. Akankah kita membiarkan kran polusi terus mengucur, atau berani mengambil langkah untuk menutupnya demi masa depan bumi yang lebih sehat.
Apakah rencana pemerintah dan kampus seperti UNS untuk memperluas edukasi publik mengenai bahaya mikroplastik, terutama di kalangan remaja dan anak-anak?