BerandaEkonomi BisnisKebijakan Penghapusan Kuota Impor Bisa Mematikan Produk Lokal

Kebijakan Penghapusan Kuota Impor Bisa Mematikan Produk Lokal

Menyusul keputusan Amerika Serikat di bawah kepemimpinan Presiden Donald Trump yang akan mengenakan tarif impor resiprokal terhadap sejumlah negara, termasuk Indonesia.

Intens.id, Yogyakarta – Pemerintah Indonesia tengah dihadapkan pada dilema kebijakan perdagangan internasional, menyusul keputusan Amerika Serikat di bawah kepemimpinan Presiden Donald Trump yang akan mengenakan tarif impor resiprokal terhadap sejumlah negara, termasuk Indonesia. Dalam kebijakan tersebut, Indonesia dikenai tarif impor baru sebesar 32 persen.

Menanggapi hal ini, pemerintah Indonesia menyatakan kesiapan untuk melakukan negosiasi dengan Amerika Serikat. Salah satu upaya yang ditawarkan adalah peningkatan volume impor dari AS. Bahkan, Presiden disebut akan membuka keran impor secara luas, khususnya untuk komoditas yang berasal dari Negeri Paman Sam.

Namun, rencana penghapusan kuota impor ini dinilai berisiko oleh sejumlah kalangan. Guru Besar Fakultas Pertanian Universitas Gadjah Mada (UGM), Prof. Subejo, yang juga dikenal sebagai pemerhati rantai pasok pangan dan komunikasi pertanian, mengingatkan bahwa kebijakan tersebut bisa berdampak negatif terhadap sektor pertanian nasional.

“Impor yang awalnya sudah diatur kuotanya kemudian diubah, saya rasa akan berisiko sebab kalau di satu sisi dapat memberikan kompetisi bagi produk-produk asing untuk masuk ke pasar Indonesia, tetapi juga pastinya akan berkompetisi dengan produk lokal,” kata Subejo, Rabu (16/4).

Ia menekankan bahwa produk lokal dengan harga lebih tinggi dibandingkan produk impor berpotensi kehilangan daya saing di pasar dalam negeri. Menurutnya, meskipun persaingan dibutuhkan untuk meningkatkan kualitas produk domestik, tetap diperlukan regulasi yang mampu memberikan perlindungan terhadap produk-produk lokal.

“Saya kira belajar dari pengalaman itu dengan serta-merta membuka keran impor atau keran ekspor bagi negara mitra kita juga bukan kebijakan yang mungkin pilihannya tidak harus itu,” ujarnya, mencontohkan kebijakan pertanian Jepang yang melindungi produk beras lokal dengan regulasi ketat terhadap beras impor.

Lebih lanjut, Subejo menyarankan agar kuota impor tetap dipertimbangkan secara matang. Ia menekankan pentingnya evaluasi terhadap sistem tata niaga agar distribusi kuota impor tidak hanya dikuasai oleh kelompok tertentu. Kuota impor, menurutnya, seharusnya difungsikan untuk menyeimbangkan kekurangan produksi dalam negeri atau untuk mendatangkan bahan yang tidak bisa diproduksi secara lokal.

“Contohnya beras, kalau ini tidak diatur komoditasnya, beras Thailand lebih murah Rp1.000,00 daripada beras Indonesia pasti konsumen kita memilih apapun yang lebih murah, tidak peduli asalnya. Hal ini juga sebab kita belum bisa ditumbuhkan nasionalisme terhadap produk lokal,” tambahnya.

Meski demikian, ia melihat adanya peluang dalam impor komoditas yang memang tidak bisa diproduksi di dalam negeri, seperti gandum. Menurutnya, hal tersebut dapat menjadi kesempatan bersaing bagi negara-negara eksportir, namun tetap perlu dikaji dampaknya terhadap produksi dalam negeri.

Subejo menyimpulkan bahwa kebijakan impor sebaiknya disesuaikan dengan jenis komoditasnya, apakah untuk menutup kekurangan pasokan domestik atau karena komoditas tersebut memang tidak dapat diproduksi di Indonesia.

Di luar persoalan kuota impor, Subejo juga menggarisbawahi pentingnya perlindungan terhadap petani dan komoditas hasil pertanian lokal. Menurutnya, penetapan harga pokok pembelian (HPP) masih belum efektif di lapangan. Ia juga menilai bahwa kebijakan hilirisasi produk pertanian perlu diperkuat agar hasil produksi tidak terbuang sia-sia.

“Saya membayangkan kalau pemerintah mendorong atau memfasilitasi investasi hilirisasi seperti membangun pabrik saus, pabrik pengeringan cabai sehingga jika terjadi oversupply produk bisa dihilirkan dan diindustrikan,” ujarnya.

Sebelum mengambil keputusan mengenai penghapusan kuota impor, Subejo menekankan perlunya kajian mendalam terkait jenis produk serta dampak jangka panjangnya.

“Dalam resiprokal ini memang harus dipikirkan secara matang mana produk-produk yang memang bisa dibuka dan yang justru harus diproteksi. Pasti prosesnya akan sangat panjang sehingga kebijakannya juga harus bertahap. Jangan sampai ide yang baik malah menghancurkan pertanian nasional,” (*).

Berita Terkait

TINGGALKAN KOMENTAR

Silakan masukkan komentar anda!
Silakan masukkan nama Anda di sini

- Advertisment -spot_img

Topik Populer