Intens.id, Unaha — Dalam udara yang sarat debu dan sungai yang menghitam, masyarakat di sekitar kawasan industri Morosi Sulawesi Tenggara (Sultra) kini menanggung beban yang tak pernah mereka pilih: kehilangan kesehatan, mata pencaharian, dan hak dasar atas lingkungan hidup yang bersih dan sehat.
Fakta ini terungkap dalam persidangan gugatan lingkungan yang diajukan masyarakat Morosi terhadap PLTU Captive milik dua raksasa industri, PT Obsidian Stainless Steel (OSS) dan PT Virtue Dragon Nickel Industry (VDNI), di Pengadilan Negeri Unaha, Senin, 14 Maret 2025. Dalam sidang dengan agenda pemeriksaan saksi, dua warga dari desa terdampak naik ke kursi saksi, bukan untuk bersaksi atas kebenaran korporasi, tapi untuk bersaksi atas penderitaan yang kini mereka tanggung setiap hari.
Asap, Debu, dan Penyakit: Warisan Cerobong PLTU
Nazaruddin, warga Desa Tobimeita, dan Wahyudin dari Desa Kapoila Baru, bersaksi tentang hal yang sama: langit yang tak lagi biru. Cerobong PLTU disebut terus menerus memuntahkan asap hitam pekat dan debu beracun yang beterbangan hingga ke rumah-rumah warga.
“Kami tidak lagi bisa membuka jendela pagi hari. Anak-anak batuk, banyak yang kena ISPA,” ucap Nazaruddin.
Dalam konteks kesehatan, data dari Kementerian Kesehatan RI menyebut bahwa paparan partikel halus (PM2.5) dalam jangka panjang meningkatkan risiko penyakit paru kronis, gangguan jantung, hingga kematian dini. [Kemenkes RI, 2021]. Bila dibiarkan, kondisi ini berpotensi menjadi ecological health crisis di masa depan.
Sungai yang Hitam, Tambak yang Mati
Namun derita warga tak hanya mengambang di udara, tapi juga meresap dalam air. Sungai Motui yang menjadi nadi kehidupan petani tambak dan sawah warga kini berubah warna dan aroma. Wahyudin menyatakan melihat langsung limbah cair hitam pekat, bahkan bergelembung, dibuang ke sungai. Limbah padat jenis bottom ash juga dibuang sembarangan di sekitar permukiman dan bibir sungai.
Uji laboratorium yang dilampirkan dalam persidangan mengonfirmasi adanya pencemaran logam berat di air Sungai Motui. Berdasarkan Peraturan Pemerintah No. 22 Tahun 2021 tentang Penyelenggaraan Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup, pencemaran logam berat merupakan pelanggaran serius dan berpotensi pidana apabila berdampak pada kesehatan manusia dan kerusakan lingkungan.
Dari 30 Ton ke Nol: Runtuhnya Ekonomi Tambak
Sebelum hadirnya PLTU, tambak udang dan ikan warga menghasilkan 30 ton per siklus panen, hingga 4 kali dalam setahun. Kini, tak satu pun siklus itu berhasil. Tambak berubah jadi kolam mati.
“Tak ada lagi panen. Air sungai yang kami pakai sudah beracun,” kata Wahyudin.
Bagi warga, tambak bukan sekadar lahan usaha. Ia adalah dapur, sekolah, dan biaya berobat. Runtuhnya produktivitas tambak berarti kemiskinan yang lebih dalam. Data BPS menunjukkan bahwa sektor perikanan kecil di Sultra menyumbang 21% penghasilan rumah tangga desa pesisir. Tanpa itu, hidup benar-benar terpuruk.
Ketidakhadiran Pemerintah dan Mandeknya Regulasi
Sidang ini juga mengungkap betapa absennya negara. Gubernur Sulawesi Tenggara baru menghadiri persidangan setelah 12 kali mangkir. Sementara lembaga seperti KLHK hanya menyebut bahwa persoalan ini menjadi kewenangan pusat, tanpa ada aksi konkret di lapangan.
Padahal, UU No. 32 Tahun 2009 tentang Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup secara tegas mewajibkan pemerintah daerah untuk mengambil tindakan apabila ada indikasi pencemaran atau kerusakan lingkungan yang berdampak pada masyarakat.
Protes yang Sunyi, Perlawanan yang Tak Direspons
Masyarakat tak tinggal diam. Mereka telah mengajukan laporan, mengikuti rapat dengar pendapat di DPRD, hingga memblokir jalan perusahaan.
Tapi tidak ada satu pun aksi itu yang menggugah hati para pengambil kebijakan maupun korporasi. Pemulihan lingkungan tak kunjung dilakukan, ganti rugi pun tak pernah dibicarakan.
Tuntutan yang Tak Berlebihan: Hak Hidup Layak
Apa yang dituntut masyarakat sebenarnya sangat sederhana: hak atas udara bersih, air yang sehat, dan lahan yang produktif. Hak-hak ini telah dijamin oleh Konstitusi dalam Pasal 28H ayat (1) UUD 1945, yang menyatakan bahwa setiap orang berhak hidup sejahtera lahir dan batin, bertempat tinggal, dan mendapatkan lingkungan hidup yang baik dan sehat.
Tuntutan mereka meliputi:
- Pemulihan lingkungan dan sungai yang tercemar
- Ganti rugi atas kerugian ekonomi dan kesehatan
- Penegakan hukum terhadap pencemaran
- Evaluasi terhadap keberadaan PLTU Captive oleh lembaga independen
Sinyal Keras Bahaya dari Morosi
Kisah Morosi bukan hanya tentang satu desa atau dua perusahaan. Ini adalah potret tentang bagaimana industrialisasi tanpa kendali bisa menggerogoti akar kehidupan masyarakat. Ketika negara gagal menjadi pelindung, ketika regulasi tak ditegakkan, maka satu-satunya harapan adalah suara warga yang terus menyuarakan keadilan—di dalam dan di luar ruang sidang.
Dan seperti yang ditunjukkan oleh Nazaruddin dan Wahyudin, harapan itu masih ada. Meski penuh debu, masih ada suara dari Morosi yang belum padam.