Lampu Kuning

oleh Pauline Yonathan*

Kicauan burung bersahut-sahutan, mentari mulai menampakkan semburat jingga di ufuk timur— embun pagi yang menyejukkan itu, bertaburan mengelilingi permukaan bumi yang fana ini. Cahaya dari ufuk timur itu menembus jendela kamarku, memaksaku untuk membuka mata.

Aku membuka mata dan rupanya rasa hampa itu masih tetap bersarang dalam jiwa ini. Sekilas kulirik handphone milikku yang terletak tepat di samping tempat tidur. Hanya ada notifikasi dari grup— dan beberapa orang teman yang mengirimkan pesan, seperti yang sudah-sudah. Notifikasi yang setiap pagi kunantikan, kini telah sirna.

Aku beranjak dari tempat tidur, menuju sebuah cermin yang terletak tepat di samping lemari. Selamat pagi, Alina Almalika. Sapaku pada diri sendiri, di hadapan cermin. Mataku sembab, mungkin karena tangis sepanjang malam. Ketika melihat diriku di cermin, pikiranku seolah-olah kembali teringat pada kejadian tadi malam.

Kejadian yang membuatku merasa kosong dan hampa pagi ini. Aku menjalin hubungan dengan seorang pria, sebut saja ia Pram. Hubungan yang kujalin dengannya telah berjalan selama 5 tahun. Berbagai kisah telah kulalui bersamanya, baik dan buruknya— tanpa tapi, semua kuterima.

Namun, malam kemarin aku memutuskan untuk mengakhiri kisah itu dengannya. Lelah dan lega kurasakan di waktu yang sama. Aku muak dengan segala sikapnya yang seakan-akan tidak menghargai diriku, seenaknya berbuat apa saja— tanpa memikirkan perasaanku.

Aku lelah menahan segala rasa sakit yang ia berikan dan dengan bodohnya aku tetap memaafkannya berulang kali, mengakhiri hubungan dengannya lalu memulai kembali seakan-akan tidak terjadi apapun.

Aku lelah. Kali ini, aku bersumpah benar-benar menjadi yang terakhir. Tak ada lagi kata “memulai kembali” dengannya, atau dengan siapapun. Aku hanya ingin sendiri. Walaupun rasanya hampa, ditemani kekosongan ini— lebih baik dibandingkan bersama seseorang yang hanya memberi rasa sakit terus-menerus, pikirku.

Namun disaat yang bersamaan, aku menangisi beberapa hal indah yang telah kulalui bersamanya selama 5 tahun ini. Mungkin, inilah alasan yang membuatku sanggup bertahan dalam hubungan toxic ini. Selain itu, aku tak ingin kembali mengenal orang baru, melalui fase adaptasi kembali— lebih baik memperbaikinya berulang kali dengan Pram.

Namun keputusanku sudah bulat, tak ada lagi hubungan baru dengan siapapun dan tak ada lagi hubungan yang dijalin kembali dengan Pram. Aku muak. Aku menyeka bulir-bulir air mata yang tanpa sadar jatuh membasahi pipiku dan menyadari bahwa sesedih apapun yang kurasakan saat ini karena melepas Pram, dunia harus tetap berjalan.

Siang itu cukup panas, terik matahari yang menembus permukaan bumi memberi manfaat bagi tumbuhan untuk berfotosintesis dan bertahan hidup. Aku memulai aktivitas seperti biasanya, berusaha menyibukkan diri untuk melupakan kejadian tadi malam.

Kegiatan akademik dan organisasi hari ini cukup padat, banyak program kerja yang harus segera terlaksana dalam waktu dekat ini. Tanpa sadar, hari menjelang malam. Mentari kembali ke peraduannya. Aku bergegas pulang ke rumah, sangat lelah rasanya menunjukkan senyum ke orang lain di saat duniaku sedang tidak baik-baik saja.

Sesampainya di rumah, aku menuju kamar dan menjatuhkan tubuh tepat di ranjang milikku. Sembari berbaring sejenak, kulirik handphone yang berada tepat di samping tubuhku. Diantara notifikasi yang kutemui, terdapat notifikasi pesan darinya, Pram. Entah apalagi yang ia inginkan, dan aku membuka pesan tersebut.

Seperti yang sudah-sudah, pesan untuk mengajakku kembali memulai hubungan dengannya, namun rasanya aku benar-benar lelah bersamanya. Dengan tegas aku membalas pesannya dengan penolakan.

Lelah bukan? di saat seperti ini, ia berusaha untuk menarikku kembali dalam genggamannya. Namun ketika aku berada di genggamannya, tak ada hal yang membuatku merasa berharga untuknya. Malam itu, aku segera menutup mata, beristirahat dari padatnya aktivitas yang kujalani hari ini. Berharap hari esok akan lebih baik.

Tiga hari sejak aku mengakhiri hubungan dengan Pram. Hari ini merupakan akhir pekan, waktu yang biasanya dimanfaatkan oleh orang banyak untuk beristirahat atau berkunjung ke tempat wisata di luar sana, untuk menjernihkan pikiran dari padatnya aktivitas.

Aku memilih memanfaatkan waktu akhir pekan ini dengan beristirahat di rumah, mengerjakan pekerjaan rumah yang sudah seharusnya kulakukan. Sore itu, aku mendengar suara motor yang berhenti tepat di depan rumah. Suara motor ini sudah tidak asing di telingaku, dan benar rupanya itu suara motor Pram.

Aku sudah menebak tujuannya mendatangiku, tentu saja untuk mengajakku kembali bersamanya. Mati-matian kupertahankan keputusanku, kali ini aku benar-benar menggunakan logika yang kumiliki untuk menghadapinya.

Setelah 5 tahun belakangan ini aku lebih mengutamakan perasaan dan rasa cinta yang kumiliki untuknya, ia tidak membalasku dengan perlakuan yang baik, mengekang namun tidak ingin dikekang. Kudengar suara langkahnya yang semakin mendekat, kemudian ia mengetuk pintu utama yang langsung terhubung ke ruang tamu rumahku.

Aku mendekati pintu itu, perlahan kubuka untuk menerimanya memasuki rumah ini. Aku memandangi wajahnya, dan ia menatapku. Tak ada kata yang kuucapkan, hanya memandanginya. Mungkin ini akan jadi yang terakhir untukku melihatnya. Sebagai tuan rumah, kupersilahkan ia masuk, duduk di ruang tamu.

Sejenak aku bergegas ke dapur untuk membuatkannya minuman dan cemilan, kutinggalkan ia seorang diri di ruang tamu. Setelah menyelesaikan hal yang menjadi tujuan ku ke dapur, aku segera kembali menuju ruang tamu, membawakannya minuman dan cemilan yang kubuat.

“Lin…” lirih suaranya memanggilku, sontak aku berpura-pura menyibukkan diri dengan minuman dan cemilan yang kubawa dari dapur untuknya.

“Alin..” panggilnya untuk yang kedua kali. Langsung saja aku menanyakan tujuannya menampakkan wajah dan mengganggu akhir pekanku.

“Kita mulai kembali ya?” ucapnya, mengajakku kembali bersamanya. Seketika aku mengangkat wajahku, menatap matanya. Sudah kuduga, tujuannya mendatangi rumah ini untuk hal itu. Aku lelah.

“Pram, aku lelah. Sangat lelah. Kita selesaikan ini saja, berakhir disini. Kupastikan ini akan jadi yang terakhir untukmu mendatangi rumah ini. Berulang kali hal ini terulang, aku merasa sangat tidak berharga bagimu. Bahkan kepada kedua orang tuaku, tidak ada rasa hormat yang kamu berikan.” ucapku panjang lebar.

Pikiranku kembali di malam kuputuskan untuk mengakhiri hubungan dengannya, aku terlibat perdebatan dengannya melalui pesan. Topik yang menjadi perdebatan saat itu bermula saat ia mengawalinya dengan pembahasan yang tertuju kepada orang tuaku, kemudian ia mengemukakan pendapatnya yang seakan-akan tidak menghargaiku sebagai seorang wanita, pendapatnya merendahkanku, seolah-olah aku tidak mampu mengerjakan apapun dengan baik.

Malam itu, aku benar-benar merasa tidak sejalan dengannya dan membayangkan hidup bersama seseorang yang tidak sejalan dan sepemikiran, sama halnya dengan merelakan diriku menjadi bonekanya. Kini, ia berada tepat di depanku. Ia menyanggah ucapanku dengan pembelaan terhadap dirinya, tak ada kata maaf ataupun kesadaran darinya. Sifat playing victim yang ia miliki benar-benar tidak asing bagiku.

Pembelaan demi pembelaan ia utarakan kepadaku atas pendapatnya yang merendahkanku dengan kedua orang tuaku. Bahkan diantara pembelaan itu, ia menyalahkanku atas segala hal yang terjadi. Sekali lagi, aku lelah.

“—namun, baiklah jika keputusanmu sudah bulat. Rupanya usahaku untuk memperbaiki hubungan ini sia-sia, nihil. Kita melanjutkan jalan masing-masing. Terima kasih untuk segalanya.” ucapnya lantang tepat di hadapanku. Untuk yang terakhir kalinya, aku menggenggam tangannya.

Sekilas aku merindukan masa dimana pertama kali bersamanya. Segala hal yang telah kulalui dengannya, kenangan indah bersamanya yang tersimpan rapi di memori ingatanku. Sembari menggenggam tangannya, aku mengucapkan terima kasih. Kemudian ia beranjak menuju pintu, aku mengikutinya hingga menuju teras rumah. Ia berpamitan untuk segera pergi sembari menaiki motornya.

Untuk yang terakhir kalinya, aku mengelus dan mengacak-acak rambutnya. Ia bergegas pergi, kutatap punggungnya yang sudah melaju —perlahan menjauhi rumah ini. Tanpa sadar air mata jatuh membasahi pipiku. Benar-benar berakhir.

Empat bulan sejak kuputuskan mengakhiri hubungan dengan Pram, berbagai kegiatan kulalui untuk menyibukkan diri sehingga tidak ada waktu untuk mengingatnya. Toh, saat ini ia juga sudah bahagia dengan orang baru disampingnya. Orang baru yang rupanya teman dekatku.

Lucu bukan? namun begitulah hidup, penuh misteri yang tidak bisa kita tebak. Lupakan tentang Pram dan kekasih barunya, mari melanjutkan hidup di dunia yang fana ini. Hari ini akan dilaksanakan satu program kerja yang cukup besar, semoga semuanya berjalan lancar tanpa kendala, harapku dalam hati.

Sebagai pengurus yang menyandang jabatan Sekretaris Umum, aku ditugaskan untuk mencetak beberapa surat. Namun saat mencetak surat tersebut, entah ada apa pada printer itu sehingga macet dan tidak dapat mencetak surat dengan baik. Sialnya, aku tidak tahu cara untuk memperbaikinya, gumamku dalam hati.

Salah seorang yang kukenal dalam ruangan itu berbalik ke arahku, sebut saja ia Kak Zain. Ia menanyakan kendala printer itu, lalu ia mendekat ke arahku. Entah bagaimana caranya mengotak-atik printer itu sehingga kembali mencetak surat dengan baik. Aku sangat berterima kasih padanya dalam hati.

Kemudian ia memberitahuku cara menggunakan printer itu dengan nada lembut, rupanya printer ini sudah sangat lama, mungkin sebaiknya segera diganti dengan yang baru, ocehku dalam hati. Tak lupa, aku mengucapkan terima kasih kepada Kak Zain, kali ini bukan dalam hati.

Namun tak ku sangka, ia membalas ucapan terima kasih itu dengan jokes receh yang membuatku tertawa lepas. Begitulah Kak Zain yang kukenal, humoris dan suka menolong orang lain.

Hari itu pelaksaan program kerja berjalan lancar, setelah mengikuti rapat evaluasi aku segera bergegas pulang. Tak ada yang ingin kulakukan saat ini selain berbaring dan meluruskan tulang belakang di tempat tidurku tercinta. Benar saja, sesampainya di rumah keinginanku segera terwujud.

Saat berbaring segala rasa lelah benar-benar kurasakan. Hari ini seru namun melelahkan, gumamku dalam hati. Sembari berbaring, aku melakukan refleksi tentang segala hal yang terjadi hari ini. Kejadian-kejadian lucu, menegangkan, beberapa kendala yang terjadi namun dapat segera teratasi pada pelaksanaan program kerja dan —entah mengapa, tiba-tiba aku teringat pada Kak Zain yang meluangkan waktu di tengah kesibukannya, untuk membantuku.

Aku juga teringat akan jokes receh yang ia berikan saat membalas ucapan terima kasihku, tanpa sadar membuatku tersenyum sebab aku tidak pernah terfikir jokes seperti itu. Setelah melakukan refleksi, aku menyadari bahwa rasanya sedang berada dalam kekosongan, banyak hal yang ingin kuceritakan tentang hari ini, namun entah pada siapa.

Dalam kekosongan itu, sejenak membuatku melarikan diri menuju handphone. Beberapa dokumentasi kegiatan hari ini kubagikan ke sosial media melalui fitur cerita yang akan hilang dalam waktu 24 jam —dan aku berpindah ke sosial media yang satu, sekedar melihat kehidupan orang lain. Beberapa menit setelahnya, aku mendapat notifikasi dari Kak Zain yang membalas cerita yang kubuat.

“Semangat lin, jaga kesehatan” ucapnya dalam balasan cerita itu.

Senyum tipis terukir di wajahku, aku membalasnya dengan ucapan terima kasih hingga obrolan dengannya berlanjut, tanpa sadar aku bercerita padanya tentang hari ini. Kekosongan yang sedari tadi kurasakan perlahan sirna. Bak cahaya yang semula redup, kini mulai bersinar kembali secara bertahap.

Hari-hari berlanjut, benih cinta yang kurasakan semakin bermekaran seiring keakrabanku dengan Kak Zain. Beberapa orang teman yang dekat denganku selalu menyampaikan sesuatu tentang Kak Zain —tentang tatapan dan sikapnya kepadaku yang lain dari biasanya.

Walau tersipu, aku menyadari bahwa hal itu tidak akan terjadi, dan benar-benar mustahil. Ragu dan bimbang saat ini kurasakan, mungkin perasaan ini hanya dimiliki olehku sendiri. Aku menelaah keadaan, perhatian yang ia berikan padaku, sifat humoris dan tawa itu, selalu ia berikan pada semua orang.

Entah pembeda apa yang temanku lihat darinya, bagiku perlakuan yang ia berikan sama pada semua orang. Tak ada yang beda, tak ada yang spesial. Namun obrolan virtual dengannya terus berlanjut hingga sampai pada tahap “saling memberi kabar” selayaknya kedua insan yang menjalin hubungan istimewa.

Walau darinya tak pernah kudengar kejelasan akan keakrabanku dengannya saat ini —untuk menanyakan padanya pun, menurutku masih terlalu dini. Selain itu, aku takut tidak mampu menahan malu jika faktanya ia tidak memiliki perasaan yang sama denganku, yang artinya aku terlalu percaya diri.

Bagaimana jika obrolan yang terus berlanjut ini hanya kebiasaannya dalam menjaga hubungan baik dengan siapa saja? bagaimana jika aku yang berlebihan dalam menilai segala perhatian dan tawa yang ia berikan? —dan bagaimana jika rupanya ia sudah memiliki orang lain, terlebih selama mengenalnya ia memang tergolong orang yang sangat tertutup, sejauh ini aku belum mengenalnya lebih dekat.

Puluhan pertanyaan bersarang dalam benakku. Bagaimana bisa obrolan virtual ini terus berlanjut dengannya, saling memberi kabar dan tersenyum selayaknya manusia yang jatuh cinta saat kembali membaca obrolan-obrolan dengannya, tanpa kejelasan perasaan yang ia miliki untukku. Mungkin, nanti akan kutemui sendiri jawaban akan segala pertanyaan itu —akan kuikuti alur ini, sampai dimana semesta membawaku bersamanya.

 

*Penulis merupakan siswa Jurusan Farmasi SMK Kesehatan Terpadu Mega Rezky Makassar.

Berita Terkait

Gogol: Cokol Pemikiran

Gogol

TINGGALKAN KOMENTAR

Silakan masukkan komentar anda!
Silakan masukkan nama Anda di sini

- Advertisment -spot_img

Topik Populer

KOMENTAR TERBARU