Intens.id – …setelah pertemuan hari itu, aku kembali menemui Gogol. Kali ini aku akan menemuinya di sebuah bar. Bar bergaya klasik yang identik dengan pengunjung yang individualis atau pengunjung yang datang dengan tujuan menikmati minuman, bukan untuk bersosialisasi. Dan ini akan menjadi bar pertama yang akan aku kunjungi, sebagaimana kata Gogol, bar ini tidak bergaya Hemingway dengan ladies bar-nya.
Я хочу опоздать
Sapaku, sembari menarik stoll bar.
“Jika bukan engkau, tentulah aku mengumpati arogansimu itu” seru Gogol.
Kita semua punya pengecualian dihadapan kekasih Gogol, sebagaimana pengecualian Tuhan kepada hambanya.
“Engkau bukan kekasihku, dan aku tidak berniat menjadi tuhan”.
Kamu hanya belum mengenalku Gogol, kelak kamu akan memiliki niat untuk menjadikanku kekasihmu, entah dengan waktu yang tepat atau dengan waktu yang belum berpihak.
“Sudahlah, mocktail atau cocktail?” tanya Gogol.
“Tapi seharusnya wanita sepertimu tidak layak dengan minuman tiruan, mock itu tiruan”.
Aku tahu Gogol, jangan mengajariku bahasa.
Tolong beri aku mocktail Honey Blackberry Mint. Seruku kepada bartender yang bernama Oleg.
Aku tidak menyukai rasa pahit dan asam Gogol. Sambungku
Aku juga tidak menyukai rasa manis, namun setidaknya itu jauh lebih mampu aku nikmati dibandingkan rasa pahit dan asam cocktail, sebagaimana tujuan aku datang, hendak menikmati minuman. Juga alunan jazz dan blues jika ada.
“Aku tidak hendak mengajarimu bahasa, aku hanya menyampaikan mock itu tiruan. Tiruan”.
Apa yang salah dengan tiruan Gogol. Bukankah sejak kecil hingga besar seperti sekarang ini kita semua Mimesis (peniru)?
“Tidak, kalau saja kita ini mimesis, tentulah tidak memperlakukan objek sampai sedemikian rupa. Bahkan karena kita tidak ingin disebut sama, sampai memperlakukan objek bukan lagi karena objeknya, melainkan karena berebut nilai objek tersebut.”
Apa maksudmu Gogol, buatlah sederhana agar aku memahaminya.
“Semua bar itu sama. Menjual minuman dan kesenangan. Bar itu objek. Namun kita memperlakukan bar dengan gaya klasik, modern, art deco, minimalis, kolonial, kontemporer, bla-bla, dan itu semua demi tidak sama, demi tidak serupa, atau menolak mimesis”.
Entahlah Gogol, yang kita maksud ini serupa apa tidak. Namun, perilaku meniru ini sebenarnya cukup merepotkan bahkan bisa menghasilkan kemunduran. Sebut saja misal si bartender Oleg, jika ia mendapatkan banyak kesenangan dan keuntungan terhadap pekerjaannya ini, maka dapat dipastikan Oleg akan memberikan juga pekerjaan ini kepada anak, kerabat, dan cucunya. Oleg melupakan rasa malu. Kejujuran. Apalagi kemanusiaannya. Dan itu mimesis.
Kamu tahu Tamerlan Gogol?
Tamerlan memerlukan berhari-hari yang sangat panjang untuk membantai 70.000 orang ketika mengusai Isapahan. Di Hiroshima orang dapat memperoleh hasil yang sama dalam waktu beberapa detik. Dan hari ini sedang berlangsung di Gaza, Kango, dan Rwanda. Dan sekali lagi Gogol, itu semua mimesis.
“Demikiankah pemaknaan mimesismu? Padahal manusia menjadi peniru bukan karena ingin sama perihal objek, tapi privilege yang didapatkan dari meniru objek tersebut, itulah tadi yang aku sebut soal berebut nilai objeknya. Tapi…, ah sudahlah, pemaknaan hanyalah pemaknaan”. Seru Gogol
Gogol, justru yang membuat aku bingung, apakah manusia memang sebajingan itu? Alih-alih meniru hal agar peradaban jauh lebih baik malah menjadi peniru untuk mementingkan golongan. Itukah maksud manusia harus berdoa agar berlindung dari keadaan lapang yang meninabobokan?
“Doa itu tak ubahnya gaungan bunyi kesakitan-kesakitan, hanya dalam doa manusia mengakui pikiran-pikiran yang paling rahasia dan hasrat-hasrat terdalam. Tapi jangan harap Oleg yang kamu contohkan tadi akan berdoa demikian. Oleg justru berdoa agar ia bisa memberikan kekuasaan hingga cicitnya kelak.”
“Tunggu, bukankah nama Oleg itu terlalu eman-eman untuk contoh kebinalan tadi.” Sambung Gogol.
Apaan eman-eman. Gogol, kamu itu sastrawan Rusia. Sungguh eman-eman tidak cocok dengan lidahmu.
Gogol menatapku, kami tertawa bersama, mengangkat gelas lalu mendentingkannya. Kami menikmati minuman yang berbeda tetapi sepertinya kami klimaks dengan maksud yang sama.
Gogol konon ada peribahasa Afrika bahwa pasukan kambing yang dipimpin singa bisa mengalahkan pasukan singa yang dipimpin kambing. Bukankah itu aneh Gogol.
Bagaimana mungkin pasukan singa-singa itu kalah dengan kemampuannya sebagai raja hutan hanya karena dipimpin kambing?
Gogol tertawa begitu keras, ia tidak menjawabku, ia lalu menikmati cocktailnya dengan sesekali mendecap karena rasa hangat mengguyur tenggorokan hingga isi perutnya.
“Bukankah sedari engkau datang hingga kini mulutmu tidak berhenti bertanya. Jangan mengetahui terlalu banyak hal. Itu akan menjadi kutukan.” Seru Gogol sembari menatapku dengan senyum yang mengejek.
“Engkau harus tahu ini, sekaligus aku menjawab arogansi yang keduamu tadi”. Sambung Gogol.
“Aku tidak mungkin menyukaimu, apalagi menjadikanmu kekasihku. Kamu harus tahu. Pria itu punya preferensi. Dan aku tidak menyukai buah dada yang kecil”.
Sungguh Gogol? Ah padahal kupikir tentulah kita akan beruntung jika bersama. Tapi tidak mengapa. Semoga saja engkau bertemu wanita dengan dada yang besar itu.
Tapi Gogol, kamu harus tahu ini.
Psikolog Viren Swami dan Martin Tovée melakukan penelitian dengan menyelidiki apakah akses pria terhadap sumber daya akan memengaruhi preferensi mereka terhadap ukuran payudara pada wanita.
Dan kamu tahu jawabannya Gogol!, Pria yang kekurangan barang-barang material akan lebih menginginkan payudara yang lebih besar daripada pria yang memiliki barang-barang material.
Mungkin saja karena mereka merasa bahwa sudah cukup kekurangan barang material (miskin) sehingga mereka tidak mau lagi dada yang kecil juga. Sedang pria yang memiliki akses terhadap material, mereka memiliki kesenangan yang banyak sehingga preferensi mereka payudara yang kecil. Termasuk karena kelas mereka memahami payudara bukan lagi tanda kemampuan wanita untuk mengandung dan membesarkan anak.
Kali ini Gogol tertawa dengan lebih keras lagi. Lalu Gogol menjawab sembari mengangkat gelas cocktailnya
“Apakah aku seorang pria yang tidak memiliki kemampuan material? Kamu tahu harga cocktail sampanye Charles Heidsieck tahun 1981 yang langka ini, cognac Louis XIII Black Pearl, yang bahkan ini harus disajikan dengan emas 18 karat”. Sambat Gogol dengan nada yang menukik.
Tidakkah aku harus menganggap ini sebagai bentuk kemarahanmu Gogol. Aku tidak menghakimi preferensimu tadi. Aku hanya menyampaikan satu hasil experiment.
Yah apa salahnya jika kamu pria bermaterial dan memiliki preferensi wanita berpayudara besar. Experiment itu hanyalah persentase rata-rata. Bukan mewakili seluruhnya Gogol.
Hentikanlah kemarahan itu. Kemarahan tak ubahnya jalan frustrasi.
“Aku marah bukan karena preferensi payudara itu. Aku marah karena aku harus menerima kenyataan bahwa engkau sungguh tidak memahamiku. Tadinya aku berharap engkau akan mengcounter jawab dengan engkau mengingatkan perihal ciuman itu. Tapi nyatanya tidak. Sungguh sial, pria sepertiku harus menanggung perasaan dengan wanita sepertimu. Bahkan aku curiga, sekalipun aku mengatakan aku mencintaimu, mungkin engkau hanya menangkapnya ‘aku hendak bermain denganmu’.”
Baiklah Gogol, mari mengakhiri percakapan ini. Aku lebih menyukaimu berbicara cocktail daripada menemaniku berbicara Oleg si bartender itu. Ini malam natal, aku harus segera pulang.
Sampai jumpa Gogol, dan ini jawaban aku.
Aku tidak mungkin menemuimu di bar jika aku tidak mengetahui batas aman yang akan kamu berikan Gogol. Percayalah wanita sepanjang hidupnya hanya mencari rasa aman. Dan tentulah engkau mengetahui maksudku ini.
***