Buton : Warisan yang terlupakan

Intens.id Dalam panggung sejarah Nusantara, Buton bukan sekadar sebuah entitas geografis, melainkan episentrum peradaban yang menyimpan jejak intelektual luar biasa. Kesultanan Buton, dengan sistem politik dan sosialnya yang kompleks, mencerminkan satu bentuk kedaulatan berbasis pengetahuan yang lahir dari interaksi antara tradisi lokal, Islam, dan pengaruh global. Sayangnya, warisan ini semakin terpinggirkan dalam narasi besar historiografi nasional yang cenderung berpusat pada kerajaan-kerajaan dominan di Jawa dan Sumatra.

Epistemologi Buton: Dialektika antara Lokalitas dan Universalitas

Salah satu konsep paling progresif dalam pemikiran Buton adalah Martabat Tujuh, sebuah sistem pemerintahan yang melampaui feodalisme konvensional. Ini bukan sekadar struktur hierarkis, tetapi sebuah epistemologi politik yang menjembatani spiritualitas, rasionalitas, dan kolektivitas. Dalam kerangka ini, kekuasaan tidak berpusat pada individu, melainkan pada prinsip-prinsip moral dan intelektual yang harus dijalankan oleh pemimpin.

Jika dikaji dalam perspektif filsafat politik, Martabat Tujuh merepresentasikan hibridisasi antara Islam, adat lokal, dan rasionalitas politik yang telah berkembang sebelum kolonialisme Eropa memperkenalkan konsep negara modern. Buton telah membangun gagasan kedaulatannya sendiri, jauh sebelum demokrasi Barat menjadi standar universal.

Namun, bagaimana mungkin epistemologi sekaya ini tidak mendapat tempat dalam diskursus intelektual pemuda Buton? Mengapa pemuda hari ini lebih mengenal gagasan Locke, Rousseau, atau Montesquieu, tetapi tidak pernah diajak untuk memahami bagaimana Buton telah merumuskan konsep kedaulatannya sendiri?

Ketika modernisasi sering diartikan sebagai imitasi terhadap model luar, Buton justru telah lama membangun modernitasnya sendiri. Sayangnya, dalam pusaran globalisasi yang semakin mendikte arah kebudayaan, masyarakat Buton sendiri tampak menjauh dari warisannya. Padahal, dalam era di mana diskursus tentang decolonization of knowledge semakin relevan, Buton seharusnya menjadi salah satu model dalam membangun paradigma keilmuan berbasis kearifan lokal.

Krisis Identitas Pemuda: Ketidaksadaran akan Warisan Intelektual

Pemuda adalah aktor utama dalam membentuk arah peradaban. Namun, tanpa kesadaran epistemik terhadap akar intelektualnya, mereka hanya akan menjadi subjek dari sistem yang diciptakan oleh orang lain. Modernitas bukanlah tentang meninggalkan tradisi, melainkan tentang bagaimana mengkontekstualisasikan warisan intelektual dalam realitas kontemporer.

Kebangkitan intelektual tidak terjadi dengan sendirinya. Warisan yang tidak dipelajari adalah peradaban yang perlahan mati. Buton bukan hanya sejarah yang tertulis dalam arsip, melainkan sebuah narasi yang menunggu untuk diartikulasikan ulang oleh generasi yang sadar akan tanggung jawabnya.

Sejarah tidak menunggu. Entah kita menulisnya, atau kita akan dihapus darinya. Tulisan ini saya tutup bersama secangkir kopi dan sebatang rokok di tangan kiri saya.(*)

Berita Terkait

TINGGALKAN KOMENTAR

Silakan masukkan komentar anda!
Silakan masukkan nama Anda di sini

- Advertisment -spot_img

Topik Populer