Intens.id Buton — Rapat Dengar Pendapat (RDP) yang digelar di kantor Dewan Perwakilan Rakyat Daerah (DPRD) Kabupaten Buton pada Senin, 6 Oktober 2025, nyaris berujung ricuh. Forum tersebut dihadiri oleh berbagai organisasi kemahasiswaan, di antaranya Ikatan Mahasiswa Muhammadiyah (IMM) Cabang Buton, Himpunan Mahasiswa Islam (HMI) Komisariat Pelnus, dan Pergerakan Mahasiswa Islam Indonesia (PMII) Komisariat STKIP.
Agenda RDP ini merupakan tindak lanjut dari aksi demonstrasi pada Kamis, 3 Oktober 2025, yang menuntut kejelasan terkait kenaikan retribusi pasar serta penggunaan aset daerah oleh salah satu kampus swasta di wilayah Buton. Kesepakatan untuk menggelar RDP dicapai saat aksi berlangsung, dengan komitmen bahwa Bupati Buton akan hadir langsung dalam forum tersebut.
Namun, ketika rapat resmi dibuka oleh Ketua DPRD Buton, Bupati Buton tidak hadir dan hanya diwakili oleh Asisten II Sekretariat Daerah yang menyampaikan bahwa bupati berhalangan hadir karena kondisi kesehatan yang kurang baik.
Pernyataan itu langsung memicu reaksi keras dari sejumlah peserta RDP. Massa menilai alasan tersebut tidak dapat diterima karena, berdasarkan informasi yang beredar, beberapa jam sebelum RDP dimulai, bupati diduga menghadiri kegiatan di Desa Winning, sehingga menimbulkan kekecewaan mendalam di kalangan mahasiswa.
Situasi sempat memanas dan nyaris ricuh sebelum akhirnya dapat diredam. Meski demikian, sebagian massa aksi memilih meninggalkan forum sebagai bentuk protes.
Mahasiswa Nilai Bupati Tak Profesional dan Tidak Menghargai Aspirasi Rakyat
Jo, perwakilan dari PMII, menegaskan bahwa ketidakhadiran bupati dalam forum tersebut bukan kali pertama terjadi.
“Sudah beberapa kali surat RDP dilayangkan oleh DPRD, tapi bupati tak pernah hadir. Kami berharap kali ini beliau hadir agar masalah yang menjadi keresahan masyarakat bisa dibahas secara tuntas. Tapi ternyata lagi-lagi beliau tidak datang,” ujarnya.
Sementara itu, Alwin dari IMM menyampaikan bahwa kehadiran bupati dalam forum ini sangat penting karena menyangkut asas pemerintahan yang baik sebagaimana tertuang dalam UU Nomor 30 Tahun 2014 tentang Administrasi Pemerintahan.
“Bupati harus akuntabel dan bertanggung jawab atas berbagai polemik di Kabupaten Buton. Ketidakhadiran beliau setelah berulang kali dipanggil DPRD menunjukkan sikap yang tidak profesional sebagai pimpinan daerah,” tegasnya.
Hal senada disampaikan Yulan Iskandar, kader HMI, yang menilai ketidakhadiran bupati mencerminkan lemahnya komitmen kepemimpinan.
“Legislatif adalah lembaga penyeimbang eksekutif, bukan bawahan eksekutif. Jika bupati terus mengabaikan panggilan RDP, DPRD harus menindak tegas. Aspirasi rakyat akan sia-sia kalau pemimpin tidak mau mendengar langsung suara masyarakat,” ujarnya sebelum meninggalkan forum.
Upaya Klarifikasi dan Harapan untuk Dialog Selanjutnya
Usai sebagian massa aksi keluar dari ruang rapat, Yusmiati, Ketua Komisariat HMI Pelnus, menyampaikan klarifikasi bahwa tindakan tersebut adalah bentuk kekecewaan mendalam terhadap ketidakhadiran bupati.
“Ini bukan kali pertama RDP digelar tanpa kehadiran beliau. Teman-teman meninggalkan forum karena merasa tidak dihargai,” jelasnya.
Ketua Cabang IMM Buton, Muzli, menambahkan bahwa aksi keluar dari forum merupakan bentuk protes nyata atas sikap bupati yang dianggap mengabaikan aspirasi rakyat.
“Dari beberapa kali aksi dan forum resmi bersama DPRD, bupati selalu absen. Ini bentuk ketidakprofesionalan dalam mengemban amanah. Mengabaikan RDP berarti mengabaikan keresahan masyarakat Buton,” tegasnya.
Penutup
Forum RDP yang seharusnya menjadi ruang dialog antara masyarakat dan pemerintah daerah kembali meninggalkan tanda tanya besar. Ketidakhadiran bupati dalam beberapa kali agenda serupa memunculkan desakan agar DPRD Kabupaten Buton mengambil langkah tegas guna memastikan keterlibatan kepala daerah dalam setiap forum yang menyangkut kepentingan publik.
Para mahasiswa yang tergabung dalam IMM, HMI, dan PMII menyatakan akan terus mengawal isu kenaikan retribusi pasar serta penggunaan aset daerah hingga mendapat penjelasan dan solusi yang jelas dari pemerintah daerah. (*)





