Banyak umat yang lupa tentang datangnya Tahun Baru Islam atau 1 Muharram. Berbeda dengan happy new year, sebulan sebelumnya sepiker sudah terpasang di teras rumah. Narasi ini sekadar notifikasi saja, hari ini 27 Juni adalah tahun baru hijriah.
Welcome back di tahun baru hijriah! bicara mengenai tahun baru, sebuah fenomena langka, ketika umat mayoritas di negeri ini tidak meniup terompet plastik, tidak bergoyang di jalan, dan tidak membakar uang dalam pesta miras sepanjang malam di bawah gemerlap kembang api. Sebaliknya, ini adalah momen tepat untuk merenung dalam sunyi, lalu menangis dalam diam, karena ternyata hari ini dunia Islam lebih mirip Mekkah pra-hijrah daripada Mekkah pasca hijrah.
Sejatinya Tahun Baru Islam adalah peringatan monumental tentang pelarian paling suci dalam sejarah. Ketika Nabi Muhammad SAW bersama sahabatnya kabur secara strategis dari penindasan brutal Mekkah menuju harapan baru di Madinah.
Ini bukan pelarian karena tersandung kasus suap seperti Harun Masiku, tapi pelarian ideologis demi keselamatan iman, demi membangun peradaban. Sebuah langkah revolusioner yang disalahpahami kaum Quraisy zaman itu, dan disalahgunakan kaum munafik era moderen.
Sekarang kita berada di tahun 1447 hijriah. Mari kita menilik dunia Islam saat ini. Di Gaza, anak-anak tak berdosa dibombardir setiap hari, tapi pemimpin Arab malah upgrade jet pribadi. Di Yaman, lapar menjadi ibadah harian, tapi negara-negara tetangga sibuk hosting konser megabintang. Di Sudan, perang saudara masih berlangsung, tapi dunia lebih peduli siapa yang benar Sunni atau syiah. Bahkan di negeri sendiri Tahun Baru Islam masih kalah pamor dibanding kasus Nikita Mirzani.
Sungguh ironis, peringatan hijrah Nabi yang dahulu menandai bangkitnya kekuatan islam kini dirayakan oleh umat yang sibuk update story “1 Muharram vibes” sambil rebahan, berharap dosa ikut pindah layaknya Nabi pindah kota.
Padahal jika ditelaah lebih jauh, makna hijrah adalah transformasi total. Dari ketertindasan menuju kemerdekaan, dari kebingungan menuju keteguhan, dari status sebagai “minoritas teraniaya” menjadi “kekuatan yang menentukan”. Tapi umat Islam kekinian justru hijrah dari akidah ke konten, dari zikir ke gimmick, dari perjuangan ke pencitraan.
Tahun baru bukan sekadar angka dalam kalender hijriah. Ia adalah pengingat bahwa umat Islam pernah berada di garda terdepan, dalam ilmu pengetahuan, pemerintahan, teknologi, bahkan etika publik. Semua itu dimulai tidak dengan perang, tidak dengan harta, tapi dengan niat suci.
Muharram – bulan yang sangat dimuliakan. Realitasnya, bulan ini malah jadi panggung sinetron duka atas umat yang bahagia menonton penderitaan sesama lewat layar hp. Asyura menjadi ajang nostalgia atas pengorbanan Husain, sementara umat Islam saat ini enggan berkorban bahkan untuk menahan diri dari ghibah digital.
Lalu kita masih bertanya, kenapa umat Islam tertinggal?
Jawabannya sudah ada sejak 1 Muharram tahun 1 hijriah. Karena kita lupa bahwa kemuliaan umat ini lahir dari pengorbanan, bukan kenyamanan, dari persatuan, bukan debat live TikTok, dari iman dan akhlak, bukan dari like dan jumlah followers.
Selamat Tahun Baru Islam. Mari berhijrah, bukan sekadar pindah gaya busana atau filter Instagram, tapi pindah dari malas ke tekun, dari ego ke ukhuwah, dari buih ke gelombang. Karena tak ada gunanya umat Islam mengingat hijrah jika mereka masih betah hidup dalam keterpurukan dan kehinaan, sambil menyalahkan barat, Yahudi, dan algoritma YouTube.
Mari rayakan Tahun Baru Islam dengan cara yang paling eksistensial, membaca ulang sejarah, merenung dalam sepi, dan jika masih kuat signal imannya segera memperbaiki diri. Sejatinya, tahun baru Islam bukan tentang mengubah kalender, tapi mengubah arah kehidupan.