Oleh: Mashud Azikin
(Environmental Activist and Chairman of Manggala Tanpa Sekat)
Intens.id – Indonesia adalah rumah bagi lebih dari 1.300 kelompok etnis, ratusan bahasa daerah, dan aneka rupa adat istiadat yang terhampar dari Sabang hingga Merauke. Keberagaman ini sering disebut sebagai kekayaan, namun dalam kenyataannya, keberagaman juga bisa menjadi tantangan — terutama ketika narasi pemersatu tak lagi kuat bergema.
Selama ini, kita mengenal semboyan “Bhinneka Tunggal Ika” — berbeda-beda tetapi tetap satu. Namun, apa makna semboyan itu dalam praktik sosial hari ini? Apakah ia cukup kuat menahan gempuran polarisasi, intoleransi, dan fragmentasi sosial yang semakin marak?
Sintesa Budaya: Bukan Sekadar Toleransi
Yang kita butuhkan saat ini bukan hanya toleransi. Toleransi cenderung pasif — membiarkan yang lain hidup berbeda tanpa ikut serta membangun jembatan. Yang kita perlukan adalah sintesa budaya: sebuah upaya aktif untuk mempertemukan nilai-nilai luhur dari berbagai budaya lokal menjadi kekuatan kolektif bangsa.
Sintesa budaya bukan berarti menyeragamkan, melainkan merangkai dan menyelaraskan. Ibarat sebuah orkestra, setiap budaya memainkan alat musiknya masing-masing, tapi semua berpadu dalam satu harmoni.
Misalnya, falsafah Bugis tentang Siri’ na Pacce (harga diri dan empati), semangat Gotong Royong Jawa, Moloopu dari Gorontalo, hingga Mapalus dari Minahasa — semuanya punya akar yang kuat dalam solidaritas sosial. Jika dikumpulkan dan dijahit dalam satu narasi kebangsaan, maka akan lahir wajah Indonesia yang lebih otentik dan berdaya.
Pendidikan dan Media Sebagai Mediator Sintesa
Sayangnya, pendidikan kita masih terlalu Jakarta-sentris. Kurikulum nasional belum cukup memberi ruang bagi budaya lokal untuk tampil sebagai sumber pengetahuan dan karakter. Padahal, budaya lokal bukan sekadar pelajaran muatan daerah, melainkan fondasi identitas bangsa.
Media massa pun sering kali lebih tertarik mengangkat budaya luar atau budaya populer yang dangkal, ketimbang menggali kedalaman kearifan lokal. Kita butuh lebih banyak dokumenter budaya, program televisi yang mengedukasi, dan konten digital yang menginspirasi anak muda mencintai akar budayanya.
Sintesa Budaya = Investasi Masa Depan Bangsa
Negara-negara maju seperti Jepang, Korea Selatan, dan India menjadikan budayanya sebagai kekuatan lunak (soft power) yang memperkuat ekonomi, diplomasi, hingga identitas nasional. Mereka tidak ragu menjual “kebanggaan lokal” ke dunia internasional.
Indonesia pun bisa — asal kita mulai dari dalam, dari niat untuk menyatukan mozaik budaya yang kita miliki. Sintesa budaya adalah jalan menuju bangsa yang tidak hanya besar karena jumlah penduduknya, tetapi kuat karena identitas dan jati dirinya.
Saatnya kita berhenti melihat perbedaan sebagai ancaman. Sudah waktunya kita bergerak dari toleransi menuju sintesa, dari hidup berdampingan menuju hidup saling menguatkan.
Karena hanya dengan sintesa budaya, Indonesia bisa benar-benar menjadi bangsa yang bersatu dalam keberagaman, bukan sekadar dalam semboyan, tapi dalam kenyataan.