Intens.id, Makassar – Beberapa waktu terakhir, akses ke website Sistem Informasi Penelusuran Perkara (SIPP) PTUN Makassar mengalami gangguan teknis. Halaman utama situs tidak dapat diakses secara normal dan sempat mengarahkan pengunjung ke website lain yang diduga milik salah satu perguruan tinggi di Kota Medan.
Di tengah kebingungan publik mengenai hasil gugatan atas nama Alhaidi, pihak Lembaga Bantuan Hukum (LBH) Makassar mengeluarkan klarifikasi bahwa Gugatan Alhaidi resmi ditolak Majelis Hakim PTUN Makassar. Kepastian ini diperoleh bukan dari website SIPP, tetapi melalui sistem e-Court Mahkamah Agung.
“Kami sudah mencoba mengakses SIPP PTUN Makassar berkali-kali, tapi gagal. Akhirnya kami mendapatkan salinan resmi putusan dari e-Court, dan memang benar, gugatan Alhaidi ditolak,” ujar Hutomo Mandala Putra, kuasa hukum Alhaidi.
Putusan Gugatan Alhaidi Ditolak Majelis Hakim
Dalam perkara Nomor 124/G/2024/PTUN.MKS, Majelis Hakim memutuskan untuk menolak gugatan Alhaidi secara keseluruhan. Namun, tim kuasa hukum menilai bahwa putusan ini tidak menyentuh substansi persoalan demokrasi dan pelanggaran prosedur yang mereka angkat dalam gugatan.
“Keputusan ini cukup mengecewakan. Seharusnya pengadilan berdiri tegak untuk melindungi nilai-nilai demokrasi, terlebih lagi di lingkungan kampus. Namun yang kami rasakan, hukum terasa tajam ke bawah dan tumpul ke atas,” kata Alhaidi menanggapi putusan tersebut.
Kontroversi SE 2591 dan Skorsing Tanpa Prosedur
Majelis Hakim menyatakan bahwa Surat Keputusan Skorsing dari Dekan Fakultas Tarbiyah dan Keguruan UIN Alauddin Makassar sudah sesuai aturan. Gugatan Alhaidi didasarkan pada Surat Edaran (SE) No. 2591, yang menjadi dasar pemberian sanksi atas aksi protes mahasiswa yang disebut tidak berizin minimal 3×24 jam.
Tim hukum Alhaidi menganggap penggunaan SE 2591 sebagai dasar hukum tidak berdasar dan bertentangan dengan prinsip konstitusi dan Hak Asasi Manusia (HAM).
“Surat edaran ini bertolak belakang dengan konstitusi. Bagaimana mungkin dijadikan bahan pertimbangan untuk menjustifikasi tindakan skorsing?” jelas Hutomo.
Pelanggaran Prosedural: Tidak Ada Panggilan Wajar dan Hak Klarifikasi
Tim hukum juga menyoroti pelanggaran dalam proses administratif penerbitan SK Skorsing. Salah satu yang dipermasalahkan adalah panggilan mendadak dari Dewan Kehormatan Universitas (DKU) kepada Alhaidi, yang diberikan pada 23 Agustus 2024 pukul 16.05 WITA dan diminta hadir pada hari itu juga.
“Tidak mungkin Alhaidi bisa hadir dengan waktu sependek itu. Ini melanggar prinsip pelayanan yang baik dalam asas umum pemerintahan,” tambah Hutomo.
Selain itu, pihak fakultas disebut tidak memberikan kesempatan kepada Alhaidi untuk memberikan klarifikasi sebelum SK Skorsing diterbitkan.
“Tindakan dekan menerbitkan SK Skorsing tanpa memeriksa Alhaidi atau memberi kesempatan klarifikasi, melanggar asas ketidakberpihakan dan merupakan bentuk pelanggaran HAM,” tegasnya.