Intens.id, Konawe – Desa Torobulu, Kecamatan Laeya, Kabupaten Konawe Selatan kembali bergejolak. Kelompok Perempuan Desa Torobulu yang tergabung dalam Aliansi Pejuang HAM dan Lingkungan turun ke jalan, menolak aktivitas pertambangan PT Wijaya Inti Nusantara (PT WIN) yang beroperasi di area pemukiman warga. Rabu, 29 Januari 2025.
Mereka menyoroti keberadaan alat berat yang mulai kembali beroperasi di sekitar Sekolah Dasar (SD) 12 Laeya, sebuah ironi yang mempertaruhkan masa depan anak-anak dengan dalih pembangunan ekonomi.
Tambang di Dekat Sekolah: Bom Waktu bagi Generasi Muda
Keberadaan pertambangan di dekat fasilitas pendidikan bukan sekadar masalah tata ruang yang buruk, tetapi juga bukti nyata pengabaian terhadap hak anak untuk belajar di lingkungan yang sehat dan aman.
Seharusnya, sekolah menjadi ruang suci bagi tumbuh kembang anak, bukan dikelilingi oleh truk-truk raksasa yang mengangkut hasil tambang dengan debu yang beterbangan di setiap tarikan napas mereka.
Melalui keterangan pers Walhi Sultra, Ayunia Muis, perwakilan Aliansi Pejuang HAM dan Lingkungan Torobulu, dengan suara bergetar menyampaikan keresahannya,
“Ini bukan kali pertama perusahaan melakukan penambangan di sekitar pemukiman. Jaraknya hanya sekitar 10 meter dari gedung kelas! Tanah semakin turun, longsor bisa terjadi kapan saja. Anak-anak ini menghirup debu setiap hari, dan yang lebih mengkhawatirkan, di tengah area tambang terdapat aliran sungai yang berpotensi tercemar,” jelas Ayunia.
Bukan hanya ancaman tanah longsor, Walhi Sultra mengajak untuk melihat dampak lain dari aktivitas tambang di sekitar sekolah sangat nyata:
- Polusi Udara: Debu tambang mengandung partikel halus (PM2.5, PM10) yang bisa menyebabkan Infeksi Saluran Pernapasan Akut (ISPA), asma, dan penyakit paru-paru lainnya pada anak-anak.
- Kontaminasi Air: Limbah tambang yang mencemari sumber air mengandung logam berat seperti merkuri, timbal, dan arsenik. Paparan jangka panjang bisa merusak sistem saraf dan menghambat perkembangan kognitif anak.
- Kebisingan dan Getaran: Suara ledakan dan alat berat yang terus-menerus bisa menyebabkan gangguan pendengaran, stres, dan kesulitan berkonsentrasi saat belajar.
Dampak Sosial: Dari Sekolah ke Lubang Tambang
Dampak pertambangan bukan hanya menghancurkan ekosistem, tetapi juga mengubah pola hidup masyarakat sekitar. Di banyak daerah tambang, anak-anak lebih rentan terhadap eksploitasi tenaga kerja dibandingkan melanjutkan pendidikan.
Desa Torobulu yang selama ini bergantung pada hasil laut sebagai nelayan dan petani tambak, kini menghadapi ancaman nyata. Air laut tercemar, hasil tangkapan berkurang, dan tambak-tambak mulai kehilangan produktivitasnya. Perlahan, mereka dipaksa mencari penghidupan lain—sering kali berakhir di sektor tambang yang merusak kampung halaman mereka sendiri.
Kriminalisasi Pejuang Lingkungan: Bisnis di Atas Keadilan?
Aksi protes ini bukan yang pertama kali dilakukan oleh komunitas Aliansi Pejuang HAM dan Lingkungan Torobulu. Bahkan, pada awal tahun 2024, dua warga dikriminalisasi karena menolak aktivitas tambang.
Namun, dalam sidang di Pengadilan Negeri Andoolo, mereka dinyatakan bebas karena bukti dan kesaksian yang ada justru menguntungkan pihak warga. Ini menjadi bukti bahwa ketidakadilan sering kali menyertai perjuangan rakyat melawan kepentingan bisnis besar.
Panggilan untuk Bertindak: Selamatkan Masa Depan Anak-Anak
Keberadaan tambang di sekitar sekolah dasar adalah ancaman yang nyata bagi generasi mendatang. Pemerintah, sebagai pemegang kewenangan, harus bertanggung jawab untuk memastikan eksploitasi sumber daya alam tidak mengorbankan hak anak atas pendidikan dan lingkungan yang sehat. Perusahaan tambang harus tunduk pada regulasi tata ruang yang jelas dan tidak mengorbankan masyarakat dengan alasan keuntungan bisnis semata.
Jika tidak ada langkah tegas, pertambangan di sekitar sekolah akan terus menjadi ancaman bagi masa depan anak-anak, memperparah ketimpangan sosial, dan merenggut hak mereka atas kehidupan yang lebih baik. Saatnya bertindak sebelum terlambat. Masa depan mereka bukan untuk diperjualbelikan.