Intens.id, Makassar, – Puluhan warga Pinrang memilih walkout dalam forum rapat koordinasi pemeriksaan substansi formulir UKL (Upaya Pengelolaan Lingkungan) dan UPL (Upaya Pemantauan Lingkungan) yang membahas rencana aktivitas penambangan pasir di muara Sungai Saddang oleh PT. Pinra Talabangi (PTB). Rapat tersebut dilaksanakan di Ruang Rapat Dinas Lingkungan Hidup (DLH) Provinsi Sulawesi Selatan.
Aksi walkout ini dilakukan karena para warga merasa tidak diberikan kesempatan untuk menyampaikan pendapat, sementara pimpinan rapat terkesan berpihak pada salah satu pihak.
“Kami memilih keluar dari forum karena sudah tidak diberikan kesempatan untuk memberikan pendapat. Pendamping kami juga tidak diberi kesempatan bicara. Untuk apa lagi kami bertahan di rapat yang tidak netral ini,” ujar Ibu Raoda dengan rasa kecewa, salah satu petani yang terancam kehilangan tanahnya apabila PT PTB diberikan persetujuan aktivitas pertambangan.
Perlu diketahui, proses yang dimulai dengan presentasi dari pihak perusahaan ini kemudian dilanjutkan dengan tanggapan dan perbaikan dari berbagai dinas terkait, menyisakan beberapa hal yang masih dipertanyakan. Salah satunya terkait mekanisme operasional pertambangan, khususnya mengenai jeti (pelabuhan tambang) dan stockpile (tempat penyimpanan sementara) pasir yang telah dikeruk, yang tidak dijelaskan secara rinci dalam Formulir UKL-UPL perusahaan.
“Tidak dijelaskan secara detail terkait dengan mekanisme operasional perusahaan, dapat berdampak pada tidak jelasnya mekanisme operasional yang dilakukan oleh Perusahaan, dan dapat menimbulkan dampak negatif yang tidak terdeteksi sehingga tidak dikelola atau dipantau oleh perusahaan. Warga yang berprofesi sebagai petani tambak, dan nelayan ambaring yang hendak menyampaikan ketakutannya terkait aktivitas penambang, juga tidak diberikan ruang yang aman untuk menyampaikan pendapatnya,” tutur Hasbi Assidiq, Koordinator Bidang Ekonomi, Sosial, dan Budaya (Ekosob) LBH Makassar.
Selain itu, dalam presentasi pemrakarsa, perusahaan hanya mencantumkan 56 tanda tangan warga yang setuju dengan kehadiran PT. PTB. Padahal, menurut dokumen dari Sekretaris Desa, terdapat sekitar 527 warga Baba Binanga yang menolak adanya aktivitas pertambangan di desa mereka.
“Mereka yang menyetujui tambang, ada yang sudah tidak tinggal lagi di kampung. Bahkan ada yang sudah tidak ada tanahnya di sana. Makanya dia nda merasakan langsung dampak tambang ke depan,” ujar Ibu Yanka, salah satu petambak di Desa Baba Binanga.
Di sisi lain, Sekretaris Camat Duampanua, Pinrang, yang juga hadir dalam forum tersebut, menegaskan bahwa lokasi konsesi pertambangan PT. PTB berada di daerah rawan bencana dengan tingkat risiko tinggi terhadap banjir dan erosi. Hal ini perlu menjadi pertimbangan serius sebelum Dinas Lingkungan Hidup (DLH) Provinsi Sulawesi Selatan memberikan Persetujuan Lingkungan.
Menurut Peta Geoportal ESDM, di wilayah Duampanua dan Cempa, Pinrang, terdapat 19 konsesi tambang pasir di sepanjang Sungai Saddang dengan total luas mencapai 371,82 hektar. Khusus untuk Desa Bababinanga, terdapat 4 konsesi tambang dengan luas total mencapai 115,2 hektar. Dari 19 konsesi tambang tersebut, hampir semuanya masih dalam tahap pencadangan, kecuali PT. PTB yang telah meningkat ke tahap eksplorasi.
Rapat koordinasi ini dipimpin langsung oleh Andi Rosida, Kepala Bidang Penataan Lingkungan Hidup, Dinas Lingkungan Hidup Provinsi Sulawesi Selatan. Rapat juga dihadiri oleh berbagai instansi terkait, antara lain Balai Pemantapan Kawasan Hutan dan Tata Lingkungan Wilayah VII Makassar, Balai Besar Wilayah Sungai Pompengan Jeneberang, Dinas Penanaman Modal dan Pelayanan Terpadu Satu Pintu (DPM PTSP), Dinas Sumber Daya Air, Cipta Karya, dan Tata Ruang Provinsi Sulsel, Dinas Energi dan Sumber Daya Mineral Provinsi Sulsel, Dinas Perhubungan Provinsi Sulsel, serta berbagai bidang terkait di DLHK Provinsi Sulsel. Secara umum, instansi-instansi tersebut memberikan saran dan tanggapan untuk perusahaan sebelum memperoleh persetujuan lingkungan hidup.