- Advertisment -spot_img

Peran Media Massa Membangun Narasi dalam Upaya Menjaga Lingkungan: Kisah Alfian Nawawi dan Festival 3 Sungai Bulukumba

Kerja-kerja ini tidak dapat dilakukan secara sendiri-sendiri, apalagi bicara lingkungan memerlukan gerakan kolektif, dan kesemuanya memiliki peran penting

Intens.id, Makassar – Pada akhir Juni 2025, Kabupaten Bulukumba menjadi saksi bisu sebuah perhelatan penting yang mengukir sejarah baru dalam upaya pelestarian lingkungan: Festival 3 Sungai Bulukumba.

Selama dua hari, tepatnya pada Sabtu dan Minggu, 28-29 Juni 2025, festival ini sukses digelar dengan semangat kebersamaan dan kepedulian yang luar biasa. Kolaborasi apik antara komunitas lokal, Badan Usaha Milik Negara (BUMN), dan Pemerintah Kabupaten Bulukumba melahirkan sebuah acara yang bukan sekadar perayaan, melainkan sebuah seruan kolektif untuk menyadarkan masyarakat akan persoalan sampah yang kian mengkhawatirkan.

Di tengah gegap gempita festival yang penuh inspirasi ini, sebuah nama mencuat dan menerima apresiasi tinggi: Alfian Nawawi dari Warta Bulukumba. Ia dianugerahi penghargaan dalam Kategori Jurnalis Peduli Lingkungan, sebuah pengakuan atas dedikasi dan kontribusinya yang tak kenal lelah dalam merawat narasi lingkungan melalui media massa.

Kisah Alfian Nawawi adalah cerminan bagaimana media massa, melalui tangan dingin seorang jurnalis, dapat menjadi kekuatan dahsyat dalam membangun kesadaran dan menggerakkan perubahan positif bagi lingkungan.

Media Massa: Pilar Penting dalam Membangun Kesadaran Lingkungan

Di era informasi yang serba cepat ini, peran media massa tak dapat dipandang sebelah mata. Televisi, radio, surat kabar, majalah, terlebih platform digital memiliki daya jangkau yang luar biasa dalam membentuk opini publik dan mengarahkan perhatian masyarakat pada isu-isu krusial.

“Dalam konteks lingkungan, media massa memiliki tanggung jawab besar untuk tidak hanya melaporkan fakta, tetapi juga membangun narasi yang kuat dan menggugah kesadaran,” ujarnya.

Persoalan lingkungan, khususnya masalah sampah, seringkali dianggap remeh atau hanya menjadi urusan pemerintah semata. Di sinilah media massa hadir sebagai jembatan informasi, menghubungkan realitas lapangan dengan pemahaman masyarakat luas.

Mereka mampu menerjemahkan data-data ilmiah yang kompleks menjadi cerita yang mudah dicerna, menyajikan dampak-dampak buruk dari kerusakan lingkungan secara nyata, serta menawarkan solusi-solusi yang dapat diimplementasikan bersama.

Lebih dari sekadar penyampai berita, media massa adalah pembentuk opini dan agen perubahan. Dengan kekuatan narasi yang mereka bangun, media dapat mengubah pandangan masyarakat dari apatis menjadi peduli, dari tidak tahu menjadi paham, dan dari pasif menjadi aktif bergerak.

Mereka dapat mengangkat suara-suara komunitas lokal yang berjuang menjaga lingkungan, memberikan ruang bagi para ahli untuk berbagi pengetahuan, dan menyoroti inovasi-inovasi yang inspiratif dalam pengelolaan lingkungan.

“Kerja-kerja ini tidak dapat dilakukan secara sendiri-sendiri, apalagi bicara lingkungan memerlukan gerakan kolektif, dan kesemuanya memiliki peran penting,” kata Alfian, kepada intens.id saat dikonfirmasi.

Membangun narasi lingkungan yang efektif bukanlah perkara mudah. Dibutuhkan kejelian dalam memilih sudut pandang, ketepatan dalam penyampaian informasi, dan yang terpenting, konsistensi dalam menggemakan isu tersebut. Di sinilah peran jurnalis seperti Alfian Nawawi menjadi krusial.

Alfian Nawawi: Jurnalis di Garda Terdepan Penjaga Lingkungan

Penghargaan Jurnalis Peduli Lingkungan yang diterima Alfian Nawawi di Festival 3 Sungai Bulukumba bukanlah kebetulan semata. Ini adalah buah dari dedikasi dan komitmennya yang mendalam terhadap isu-isu lingkungan. Sebagai seorang jurnalis di Warta Bulukumba, Alfian menyadari betul potensi besar media untuk menjadi corong aspirasi dan penggerak perubahan.

Alfian tidak hanya sekadar menulis berita; ia merawat narasi. Merawat narasi berarti Alfian tidak hanya berhenti pada satu atau dua laporan. Ia secara konsisten mengangkat isu sampah, pencemaran sungai, pentingnya pengelolaan limbah, hingga upaya-upaya konservasi yang dilakukan masyarakat. Setiap tulisannya dirancang untuk membangkitkan empati, memicu pemikiran kritis, dan mendorong tindakan nyata.

Bagaimana Alfian Nawawi memanfaatkan posisinya sebagai jurnalis dalam merawat narasi sehingga semangat menjaga lingkungan terus meluas?

Pertama, Ia membangun kedekatan dengan komunitas lokal dan pegiat lingkungan. Alfian tidak hanya menunggu rilis berita; ia aktif ke lapangan, berinteraksi langsung dengan warga yang terdampak masalah sampah, mewawancarai para aktivis lingkungan, dan mendokumentasikan inisiatif-inisiatif kecil yang kadang terlewatkan.

Kedekatan ini memberinya perspektif yang lebih mendalam dan cerita-cerita otentik yang mampu menyentuh hati pembaca. Ia memahami bahwa cerita-cerita personal dari mereka yang secara langsung merasakan dampak kerusakan lingkungan jauh lebih kuat dalam membangun kesadaran dibandingkan sekadar data dan statistik.

Kedua, Ia mengemas informasi dengan gaya bahasa yang populer dan mudah dicerna. Alfian memahami bahwa isu lingkungan, meskipun penting, seringkali terasa berat dan teknis bagi masyarakat awam. Oleh karena itu, ia berusaha menyederhanakan kompleksitas tersebut, menggunakan analogi, dan menghadirkan cerita-cerita yang relevan dengan kehidupan sehari-hari pembaca.

Ia menghindari jargon-jargon rumit dan lebih memilih bahasa yang lugas, namun tetap informatif. Ini memastikan pesannya sampai kepada berbagai lapisan masyarakat, tidak hanya kalangan terpelajar.

Ketiga, Ia tidak hanya menyoroti masalah, tetapi juga solusi dan harapan. Alfian tahu bahwa berita negatif tentang kerusakan lingkungan dapat menimbulkan keputusasaan. Oleh karena itu, di samping mengangkat persoalan, ia juga aktif memberitakan upaya-upaya positif yang dilakukan, baik oleh pemerintah, BUMN, komunitas, maupun individu.

Ia menyoroti inovasi dalam daur ulang, keberhasilan program bank sampah, gerakan bersih-bersih sungai, hingga contoh-contoh rumah tangga yang berhasil mengurangi sampah. Dengan demikian, ia tidak hanya menginformasikan tentang masalah, tetapi juga menularkan optimisme dan memberikan inspirasi bahwa perubahan itu mungkin.

Keempat, Ia memanfaatkan berbagai platform media yang tersedia. Meskipun Warta Bulukumba adalah media utamanya, Alfian juga memanfaatkan media sosial, forum online, atau bahkan acara-acara komunitas untuk menyebarkan narasi lingkungan. Ia memahami bahwa di era digital ini, penyebaran informasi tidak lagi terbatas pada satu saluran saja. Dengan memanfaatkan beragam platform, ia memastikan pesannya menjangkau audiens yang lebih luas dan beragam.

Kelima, Ia secara konsisten mengawal isu lingkungan. Tidak hanya menulis sekali lalu berhenti, Alfian Nawawi terus mengikuti perkembangan isu yang ia angkat. Ia melaporkan kemajuan, tantangan yang dihadapi, hingga dampak dari kebijakan yang diterapkan.

Konsistensi ini sangat penting untuk menjaga momentum dan memastikan isu lingkungan tetap relevan dalam benak masyarakat. Ia menjadi semacam “penjaga gawang” bagi isu lingkungan di Bulukumba, selalu siap mengangkatnya kembali ke permukaan publik.

Melalui pendekatan-pendekatan ini, Alfian Nawawi berhasil menciptakan resonansi. Narasi yang ia bangun tidak hanya menjadi sekadar berita, tetapi menjadi bagian dari percakapan sehari-hari masyarakat Bulukumba. Semangat menjaga lingkungan yang ia tanamkan melalui tulisan-tulisannya tumbuh dan meluas, memicu kesadaran kolektif untuk bertindak.

Festival 3 Sungai Bulukumba: Manifestasi Narasi yang Meluas

Keberhasilan Festival 3 Sungai Bulukumba adalah bukti nyata bahwa narasi yang dibangun oleh media massa dan pegiat lingkungan seperti Alfian Nawawi membuahkan hasil. Festival ini bukan hanya ajang seremonial, melainkan sebuah gerakan konkret yang melibatkan berbagai pihak.

Festival 3 Sungai terselenggara dari hasil kolaborasi komunitas lokal, BUMN, dan Pemerintah Kabupaten Bulukumba. Festival 3 Sungai Bulukumba berdiri di atas semangat kolaborasi lintas komunitas, lembaga, dan individu yang percaya sungai bukan sekadar aliran air, tetapi denyut kehidupan yang mesti dijaga bersama.

Di balik panggung, tercatat sejumlah nama kolaborator yang memberi warna dan tenaga pada acara ini: Kebun Bersama, ECOTON, Balang Institute, Teater Kampong, Kolaborasi Biru, Teras Production, Siring Bambu, KMPS, Inisiatif Balantieng, hingga Lopi dan Relawan Gesit Chapter Bulukumba. Dukungan juga datang dari kalangan akademisi, seperti University of Portsmouth, dan berbagai jejaring media, termasuk Klik Hijau, Klik Sulsel.id, Radar Selatan, Info Bulukumba, dan Sulsel Network.

Ruang kreasi seni dan pendidikan turut hadir melalui Pelangi Music School, Pemusik Bulukumba, Sanggar Seni Turiolo Kajang, Rumah Buku, SSB Batugarumbing, serta Macaca Maura Project.
Tak ketinggalan, deretan komunitas kreatif dan sosial seperti Refilltor, Solam, Kerja Jelas Production, A20 Project, Kurirta Bulukumba, Anu Bersama, dan Bicara Baik.id ikut menjalin simpul kebersamaan demi satu tujuan: memulihkan wajah sungai Bulukumba menunjukkan bahwa kesadaran lingkungan telah meresap ke berbagai lini.

Tujuan festival untuk meningkatkan kesadaran masyarakat terhadap persoalan sampah yang mengkhawatirkan di Kabupaten Bulukumba adalah langkah fundamental. Tanpa kesadaran, sulit untuk mengharapkan perubahan perilaku yang berkelanjutan. Festival ini, dengan berbagai kegiatan seperti bersih-bersih sungai, pameran inovasi daur ulang, diskusi publik, dan pertunjukan seni bertema lingkungan, menjadi wadah efektif untuk mengedukasi dan menginspirasi.

Apresiasi terhadap Alfian Nawawi di festival ini juga mengirimkan pesan penting: bahwa peran jurnalis dalam mengawal isu lingkungan diakui dan dihargai. Ini akan menjadi motivasi bagi sesama jurnalis untuk lebih aktif mengangkat isu-isu lingkungan dan menjadi bagian dari solusi.

Meskipun kesadaran akan isu lingkungan terus meningkat, perjalanan masih panjang. Tantangan seperti kebiasaan membuang sampah sembarangan, kurangnya fasilitas pengelolaan sampah yang memadai, dan kurangnya pemahaman tentang pentingnya reduksi sampah masih menjadi pekerjaan rumah.

Di sinilah peran media massa, dan jurnalis seperti Alfian Nawawi, akan terus dibutuhkan. Mereka harus terus berinovasi dalam membangun narasi, menemukan sudut pandang baru, dan melibatkan audiens dengan cara yang lebih interaktif. Misalnya, dengan memanfaatkan kekuatan visual melalui video dokumenter, infografis interaktif, atau bahkan live report dari lokasi-lokasi yang membutuhkan perhatian khusus.

Harapannya, melalui konsistensi dan dedikasi, narasi tentang pentingnya menjaga lingkungan akan semakin kuat dan meluas, tidak hanya di Bulukumba, tetapi juga di seluruh Indonesia.

Kisah Alfian Nawawi adalah pengingat bahwa satu pena, satu suara, yang didasari oleh kepedulian tulus, dapat menjadi pemantik perubahan besar. Ia adalah inspirasi bagi kita semua untuk tidak pernah lelah menyuarakan kebaikan, terutama untuk keberlanjutan bumi yang kita pijak ini. Karena pada akhirnya, menjaga lingkungan adalah tanggung jawab kita bersama, dan media massa adalah salah satu alat paling ampuh untuk mewujudkan tanggung jawab tersebut.

Dirinya menerima penghargaan bersama 10 pegiat lingkungan dengan kontribusi berbeda,

  1. Ahmad Darsyaf Pabotingi
    Kategori: Tokoh Budaya Lingkungan
    Kontribusi: Menanamkan nilai-nilai lingkungan melalui kesenian bersama Teater Kampong.

  2. Sanggar Seni Budaya Alfarabi
    Kategori: Pelestari Sungai Berbasis Budaya
    Kontribusi: Menggelar “Kenduri Sungai Bijawang”, memadukan kesenian dan kepedulian terhadap sungai.

  3. Saparudin
    Kategori: Pelestari Daerah Aliran Sungai
    Kontribusi: Mengembangkan pertanian alami dan menerapkan tradisi lokal dalam proses bercocok tanam.

  4. Arsyad Rizal
    Kategori: Pelestari Pengetahuan Tanaman Obat Tradisional
    Kontribusi: Melestarikan tanaman obat di Bira melalui Sekolah Alam Mataangin.

  5. Andi Fatmawati
    Kategori: Penggerak Komunitas Merdeka Sampah
    Kontribusi: Aksi bersih sampah di sungai dan sawah bersama warga Desa Batukaropa.

  6. Ustaz Andy Satria
    Kategori: Dakwah Peduli Lingkungan
    Kontribusi: Konsisten berdakwah dengan tema-tema lingkungan.

  7. Sri Puswandi
    Kategori: Pemuda Peduli Daerah Aliran Sungai
    Kontribusi: Melestarikan DAS Balantieng melalui budidaya pohon aren dan koperasi petani gula merah.

  8. Alfian Nawawi (Warta Bulukumba)
    Kategori: Jurnalis Peduli Lingkungan

  9. SiPaling SMPN 10 Bulukumba
    Kategori: Sekolah Peduli Sungai
    Kontribusi: Menanam pohon, aksi bersih sungai, dan penelitian di kawasan hilir Sungai Balantieng.

  10. Komunitas Masyarakat Peduli Sungai (KMPS) Desa Anrang
    Kategori: Komunitas Peduli Sungai
    Kontribusi: Inventarisasi keanekaragaman hayati DAS Balantieng, penelitian kualitas air dan mikroplastik, serta pengembangan toko refill ramah lingkungan

 

Berita Terakait

TINGGALKAN KOMENTAR

Silakan masukkan komentar anda!
Silakan masukkan nama Anda di sini

- Advertisment -spot_img

Topik Populer

Komentar Terbaru