Dilema RUU TNI: Reformasi atau Reinkarnasi Orde Baru?
Firman Fadirubun
Badan Pimpinan Pusat ISMEI 2025-2027
Rencana Undang-Undang Tentara Nasional Indonesia (RUU-TNI) menjadi topik yang cukup kontroversial di Indonesia saat ini, terutama bagi mereka yang memperjuangkan penguatan demokrasi dan pengelolaan sipil-militer yang sehat. RUU ini bertujuan untuk memperbarui dan menyasuaikan struktur serta tugas TNI dengan perkembangan zaman, namun di balik tujuan tersebut terdapat berbagai aspek yang dianggap dapat merugikan kemajuan demokrasi di Indonesia. Beberapa hal buruk terkait RUU TNI yang patut mendapat perhatian.
Peningkatan Peran Militer dalam Politik
Salah satu kritik terhadap RUU TNI adalah potensi untuk menyilap masuk dalam perpolitikan di Indonesia, yang di mana perluasan peran militer untuk menduduki atau mengambil alih dalam ruang-ruang yang tak seharusnya mereka duduki, meskipun pada dasarnya Indonesia telah berkomitmen pada prinsip demokrasi dan pemisahan antara kekuasaan sipil dan militer. Hal ini sangat beresiko terhadap penguatan sistem politik yang demokratis, karena militer bisa kembali memiliki pengaruh dalam proses politik, yang seharusnya lebih dominan diduduki oleh para politisi sipil.
Pada masa Orde Baru, kita telah melihat dampak buruk dari keterlibatan militer itu dalam perpolitikan Indonesia, yang menyebabkan pembatasan kebebasan sipil, pemberangusan oposisi dan pengendalian ketat terhadap media serta ruang gerak masyarakat. Jika RUU ini di sahkan, ada kekhawatiran bahwa pengaruh militer dalam politik akan kembali menguat dan menggali kembali dominasi militer atas negara.
Penyusupan Militer ke dalam Struktur Sipil
RUU TNI juga memberikan ruang yang lebih besar bagi TNI untuk terlibat dalam urusan Sipil, seperti dalam bidang Ekonomi, Pemerintahan Daerah, hingga struktur pemerintahan lainnya. Beberapa pasal dalam RUU ini menyebutkan bahwa TNI dapat terlibat dalam pembangunan Nasional yang lebih luas, bukan hanya dalam konteks pertahanan dan keamanan Negara.
Dengan semakin luasnya ruang bagi TNI dalam kehidupan Sipil, hal ini beresiko mempengaruhi kebebasan dan otonomi sektor sipil. Ini bisa mengarah pada situasi di mana militer terlibat dalam pengambilan kebijakan yang seharusnya lebih bersifat sipil dan demokratis, mengurangi peran serta masyarakat dalam menentukan arah kebijakan negara.
Mengurangi Kontrol Sipil terhadap Militer
Salah satu pilar penting dalam hubungan Sipil-Militer adalah kontrol sipil terhadap militer. Di banyak Negara demokratis, militer harus berada di bawah kendali dan pengawasan Pemerintah Sipil. RUU TNI, di sisi lain, dapat mempermudah militer untuk beroperasi secara lebih independen tanpa pengawasan yang memadai dari pihak sipil. Ketika militer memiliki otonomi lebih besar, sulit untuk mengontrol tindakan-tindakan yang mungkin melanggar Hak Asasi Manusia (HAM) atau tidak sesuai dengan prinsip-prinsip Negara Hukum.
Apalagi, dengan adanya pasal yang memungkinkan peran militer dalam pengawasan internal pemerintah atau tindakan penanggulangan ancaman domestik, TNI bisa saja terlibat dalam operasi-operasi yang lebih jauh melampaui tugasnya, tanpa adanya pengawasan dari lembaga-lembaga sipil atau parlemen. Ini bisa membuka peluang untuk penyalahgunaan kekuasaan yang tidak terkontrol.
Meningkatnya Resiko Re-Politikalisasi Militer
RUU TNI juga berpotensi untuk membuka jalan bagi re-politikalisasi militer, yakni kembali mengaktifkan peran militer dalam politik praktis. Meskipun dalam pasal-pasal yang ada di dalamnya, RUU ini menegaskan bahwa TNI harus tetap berfokus pada tugas utama dalam bidang pertahanan, pengaturan yang tidak jelas dan terlalu luas dalam hal kewenangan dan peran militer dalam berbagai sektor bisa menyebabkan TNI kembali terlibat dalam urusan politik praktis. Ini akan merusak semangat reformasi yang telah dijalankan sejak 1998, yang menuntut pemisahan yang jelas antara kekuasaan sipil dan militer.
Jika RUU ini disahkan, Indonesia mungkin akan mengalami kemunduran dalam hal hubungan Sipil-Militer yang sehat, yang seharusnya menjadi landasan demokrasi. Peningkatan peran Militer dalam urusan politik atau pemerintahan beresiko memundurkan langkah reformasi yang telah dicapai dalam hal penguatan demokrasu dan pengurangan kekuasaan Militer dalam pemerintahan.
Potensi pengabaian Hak Asasi Manusia
Dengan semakin banyaknya kewenangan yang diberikan kepada TNI dalam RUU ini, potensi pelanggaran Hak Asasi Manusia dapat meningkat, terutama jika militer diberi wewenang untuk menangani situasi-situasi domestik seperti kerusuhan sosial atau gerakan separatis tanpa pengawasan yang memadai dari institusi sipil atau lembaga-lembaga Independen. Sejarah menunjukan bahwa militer sering kali terlibat dalam tundakan-tindakan represif terhadap kelompok-kelompok yang dianggap mengancam kedaulatan Negara, baik dalam bentuk pembatasan kebebasan berbicara, penahanan sewenang-wenang, maupun kekerasan terhadap warga sipil. Jika pengawasan sipil terhadap militer lemah, maka pelanggaran terhadap HAM bisa terjadi tanpa ada pertanggungjawaban yang jelas.