Intens.id, Sidoarjo – Sungai Cemandi berbisik dalam gelombang kecilnya, membawa cerita tentang luka yang tak terlihat. Airnya tak lagi jernih seperti dulu, tetapi mengandung ancaman yang kasatmata—mikroplastik. Ia menangis dalam diam, menyampaikan pesan yang akhirnya didengar oleh sekelompok siswa dari Madrasah Ibtida’iyah Negeri (MIN) 2 Sidoarjo.
Dalam sebuah penelitian sederhana yang dilakukan bersama Ecoton (Ecological Observation and Wetlands Conservation), para siswa menemukan fakta mencengangkan: air Sungai Cemandi terkontaminasi tiga jenis mikroplastik—fiber, filamen, dan fragmen. Temuan ini bukan sekadar data di atas kertas, tetapi sebuah peringatan nyata bahwa krisis plastik telah menyusup hingga ke sumber air yang sehari-hari digunakan oleh masyarakat.
Mikroplastik: Ancaman Tersembunyi di Setiap Aliran Sungai
Polusi plastik bukan lagi masalah kota besar atau pesisir lautan. Ia hadir di sungai-sungai kecil yang membelah kehidupan, seperti Sungai Cemandi.
Prigi Arisandi, pejuang Sungai Indonesia dari Ecoton Foundation, mengungkapkan bahwa 80 persen ikan di sungai telah mengonsumsi mikroplastik, yang berdampak pada gangguan hormon hingga fenomena intersex—perubahan kelamin yang mengancam kelangsungan hidup spesies ikan.
“Banyak sungai kita yang sedang ‘sakit’ akibat pencemaran, terutama dari polusi plastik yang semakin tidak terkendali. Jika ini dibiarkan, kita menghadapi ancaman kepunahan ikan di masa depan,” tegasnya, Jumat (31/1/2025).
Namun, ancaman mikroplastik tak berhenti di sungai. Partikel kecil ini masuk ke rantai makanan, terakumulasi dalam tubuh manusia, dan memicu berbagai gangguan kesehatan. Sekolah, sebagai pusat pembelajaran, kini dihadapkan pada tanggung jawab besar: membangun kesadaran lingkungan sejak dini.
Sekolah dan Peran Besarnya dalam Konservasi Lingkungan
Penemuan mikroplastik di Sungai Cemandi menjadi momentum bagi sekolah untuk membentuk generasi yang peduli terhadap lingkungan.
Alaika Rahmatullah dari Divisi Edukasi Ecoton menyoroti fakta lain yang tak kalah mengkhawatirkan: kebiasaan konsumsi plastik sekali pakai di lingkungan sekolah.
“Laporan Kementerian Kesehatan menyebutkan bahwa konsumsi minuman manis dalam kemasan plastik menjadi salah satu penyebab meningkatnya kasus gagal ginjal pada anak-anak sekolah. Ini adalah ancaman kesehatan serius yang harus segera diatasi,” ungkapnya.
Sekolah tak hanya tempat belajar teori, tetapi juga wahana edukasi praktis untuk mengubah kebiasaan buruk yang merusak lingkungan. Islakhah Wahyuni, M.Pd.I., Kepala MIN 2 Sidoarjo, menegaskan bahwa program edukasi ini adalah langkah awal yang sangat berarti.
“Kegiatan ini tidak hanya memperkaya wawasan siswa di dalam kelas, tetapi juga memberikan pengalaman langsung tentang kondisi lingkungan sekitar mereka,” ujarnya.
Kesadaran harus ditanamkan sejak dini, dan sekolah memiliki peran strategis dalam membentuk pola pikir siswa. Langkah konkret yang dapat diterapkan di sekolah meliputi:
✅ Melarang penggunaan plastik sekali pakai di lingkungan sekolah
✅ Mendorong kebiasaan membawa botol minum dan tempat makan sendiri
✅ Mengadakan program edukasi lingkungan secara berkala
✅ Melibatkan siswa dalam kegiatan konservasi seperti pembersihan sungai dan penanaman mangrove
Masa Depan Berkelanjutan Dimulai dari Sekolah
Temuan mikroplastik di Sungai Cemandi bukan hanya alarm bagi ekosistem, tetapi juga panggilan bagi masyarakat untuk bergerak. Sekolah-sekolah harus menjadi garda terdepan dalam mencetak generasi yang peduli lingkungan.
Dengan edukasi yang berkelanjutan, kesadaran kolektif, dan kebijakan konkret, kita bisa menghentikan tangisan Sungai Cemandi. Karena sungai yang sehat bukan hanya sumber kehidupan, tetapi juga warisan bagi anak cucu kita di masa depan.
Kini, pertanyaannya bukan lagi seberapa parah pencemaran yang terjadi?, tetapi apa yang bisa kita lakukan untuk menghentikannya?