Intens.id, Surabaya – Dalam rangka memperingati Hari Mangrove Sedunia dan Hari Sungai, Yayasan Kajian Ekologi dan Konservasi Lahan Basah (Ecoton Foundation) bersama komunitas Marapaima menggelar aksi penyelamatan ekosistem mangrove dari jeratan sampah plastik dan brand audit di kawasan pesisir Mangrove Wonorejo, Surabaya (26/7), serta pembersihan sampah di Sumber Mendit, Malang (27/7). Aksi ini melibatkan 25 relawan dan berhasil mengevakuasi sekitar 800 kilogram sampah plastik yang tersangkut di akar dan batang pohon mangrove.
Pohon Mangrove Terjerat Sampah, Ekosistem Terancam
Temuan di lapangan mengungkap bahwa ekosistem mangrove di kawasan Wonorejo mengalami pencemaran serius. Banyak pohon mangrove ditemukan terjerat sampah plastik yang menyangkut di akar dan batangnya. Kondisi ini menghambat pertumbuhan tanaman dan mengancam keseimbangan ekosistem pesisir.
Tak hanya itu, target nasional pengurangan sampah plastik sebesar 70 persen sebagaimana diamanatkan dalam Peraturan Presiden No. 83/2018 tentang Penanganan Sampah Laut dinilai gagal. Kebocoran sampah dari Daerah Aliran Sungai (DAS) Brantas menjadi salah satu penyebab utama pencemaran yang berdampak pada kematian sejumlah pohon mangrove di wilayah pesisir.
Audit: Unilever, Wings, dan Indofood Dominasi Sampah Bermerek
Hasil brand audit yang dilakukan menunjukkan bahwa 55 persen sampah plastik yang ditemukan merupakan jenis unbranded seperti kresek, sedotan, styrofoam, dan sachet tanpa label. Sementara itu, sisanya berasal dari sampah bermerek, antara lain Unilever (15%), Wings (10%), Indofood (8%), Mayora (7%), dan Garuda Food (5%).
Daur Ulang Bukan Jawaban Utama
Ecoton menyatakan bahwa daur ulang bukan solusi utama dalam menyelesaikan persoalan sampah plastik, khususnya di kawasan pesisir. Berdasarkan laporan OECD 2022, hanya 9% dari total sampah plastik global yang berhasil didaur ulang. Sisanya dibuang ke TPA, dibakar, atau mencemari daratan dan laut.
“Setelah melihat kondisi mangrove di pesisir timur pantai Surabaya, kami menegaskan bahwa meskipun plastik yang dapat didaur ulang seperti PET sering terkontaminasi, sehingga akhirnya dibuang. Sementara itu, produksi plastik sekali pakai terus meningkat, sedangkan infrastruktur daur ulang tak mampu mengimbanginya, menjadikan daur ulang hanya solusi semu tanpa pengurangan konsumsi,” ujar Alaika Rahmatullah, Koordinator Audit Sampah Ecoton.
DAS Brantas Jadi Jalur Kritis Sampah Plastik
Penelusuran lebih lanjut di kawasan hulu DAS Brantas, tepatnya di Sumber Mendit, Malang, menunjukkan aliran sampah plastik yang mencemari badan sungai dan terbawa hingga ke hilir di pesisir timur Surabaya. Kondisi ini memperkuat posisi DAS Brantas sebagai jalur kritis transportasi sampah plastik di Jawa Timur, mencerminkan buruknya pengelolaan sampah di sepanjang aliran sungai tersebut.
Mikroplastik Ancam Kesehatan Manusia
Selain mencemari lingkungan, sampah plastik yang terurai menjadi mikroplastik telah masuk ke rantai makanan manusia. Mikroplastik kini ditemukan dalam tubuh manusia, termasuk darah dan plasenta, sehingga menimbulkan kekhawatiran terhadap dampak kesehatan jangka panjang.
“Mikroplastik dapat menumpuk di organ tubuh dan memicu peradangan kronis, gangguan imun, serta membawa zat berbahaya seperti BPA dan logam berat. Paparan jangka panjangnya dikaitkan dengan gangguan hormon, penurunan kesuburan, dan risiko terhadap sistem saraf,” ujar Meylisa Rheinia Lumintang, mahasiswa Ilmu Kelautan Universitas Brawijaya Malang.
Seruan Tindakan: Tangkal Sampah, Lindungi Mangrove
Menanggapi temuan-temuan tersebut, Ecoton dan komunitas Marapaima menyampaikan lima tuntutan kepada pemerintah dan pemangku kebijakan:
- Pembangunan pagar laut sebagai penghalang sampah plastik agar tidak masuk ke ekosistem pesisir.
- Optimalisasi pengelolaan sampah di hulu, khususnya di sepanjang DAS Brantas.
- Larangan terhadap plastik sekali pakai, terutama jenis yang sulit terurai seperti kresek, sedotan, styrofoam, dan sachet multilayer.
- Penguatan kolaborasi multipihak, termasuk pemerintah, komunitas lokal, dan produsen dalam pengurangan plastik sekali pakai.
- Penerapan kebijakan Extended Producer Responsibility (EPR) secara ketat, agar produsen bertanggung jawab atas dampak lingkungan dari produk mereka.
Aksi ini menjadi peringatan keras bagi seluruh pihak agar lebih serius dalam mengatasi krisis sampah plastik yang kian mengancam lingkungan, kesehatan, dan masa depan ekosistem Indonesia.





