spot_img

Visi Entrepreneurship Hanya Lip Service? Realitas Suram Organisasi Mahasiswa yang Terpinggirkan

Mentalitas mahasiswa harus dibangun melalui dukungan nyata, bukan sekadar retorika. Menolak ide tanpa menawarkan alternatif solusi atau bimbingan hanya akan mematahkan semangat dan meruntuhkan kepercayaan diri, sebuah luka psikologis yang berpotensi dibawa hingga ke dunia profesional.

Oleh: Musdalifah
Ketua BEM Kema FEIS Universitas Fajar 2024-2025

Dunia kampus, sebuah ekosistem dinamis yang senantiasa berevolusi, kini menghadapi transformasi dengan kecepatan dan skala yang belum pernah terjadi sebelumnya. Pandemi COVID-19 memorak-porandakan lanskap pendidikan tinggi secara fundamental, memaksa adaptasi radikal dalam sekejap mata. Untuk proses belajar mengajar, kita kini perlu secara spesifik menyebut “Kelas Offline,” sebuah konsep yang dulunya merupakan satu-satunya realitas pembelajaran. Evolusi terpaksa ini bukan sekadar tentang transisi metode, melainkan memunculkan pertanyaan eksistensial: apakah kita hanya beradaptasi secara teknis, ataukah identitas dan esensi pengalaman kampus itu sendiri yang kini berada di tubir perubahan fundamental?.

Disrupsi ini merambah jauh melampaui ruang kelas formal. Aktivitas belajar-mengajar yang beralih ke platform digital hanyalah puncak gunung es. Di bawah permukaan, kehidupan organisasi mahasiswa mengalami guncangan hebat. Fenomena menurunnya minat mahasiswa untuk terlibat aktif dalam organisasi, bahkan sikap apatis terhadap ajakan berorganisasi, menjadi pemandangan yang kian lazim. Salah satu akar masalah yang teridentifikasi adalah pergeseran paradigma mahasiswa generasi baru: mereka mendambakan relevansi instan, mendahulukan penguasaan keterampilan praktis yang dapat langsung diaplikasikan di dunia kerja. Sementara itu, banyak organisasi mahasiswa terkesan gagap, belum mampu merumuskan ulang proposisi nilai mereka agar selaras dengan ekspektasi audiens baru ini.

Dari semua transisi yang ada, hal yang paling disayangkan adalah absennya respon strategis dan solusi proaktif dari pihak kampus itu sendiri untuk mengatasi turunnya minat berorganisasi mahasiswa. Kurangnya solusi aktif dari pihak kampus menimbulkan pertanyaan serius, apakah kondisi ini dibiarkan karena secara tidak langsung mengurangi alokasi anggaran kemahasiswaan? Apapun alasannya, dampaknya adalah hak mahasiswa atas pengembangan diri melalui organisasi menjadi terabaikan.

Bahkan mungkin itu menjadi keberuntungan tersendiri bagi kampus karena akan berkurangnya dana organisasi yang dikeluarkan untuk membiayai kegiatan-kegiatan organisasi yang notabenenya dana itu adalah hak mahasiswa yang memang wajib diberikan.

Menentukan Ulang Gaya Aktivisme

Mengurai benang kusut ini, diperlukan langkah-langkah resolutif yang dimulai dari redefinisi gaya aktivisme, disesuaikan dengan kultur dan identitas unik setiap kampus. Sebagai contoh konkret, di Universitas Fajar yang mengusung visi sebagai “Kampus Entrepreneur,” mahasiswa khususnya yang aktif berorganisasi penting untuk menjiwai konsep entrepreneur yang dikampanyekan oleh Unifa mulai sejak berdirinya. Peran apa yang perlu dilakukan oleh mahasiswa untuk tetap ikut terlibat dalam permasalahan kekinian dengan tetap berada pada koridor jiwa entrepreneur. Untuk itu sangat penting untuk menyelaraskan visi kampus dan misi yang akan dikerjakan oleh mahasiswa dalam organisasi.

Mahasiswa, khususnya para aktivis organisasi, memiliki tanggungjawab inheren untuk menginternalisasi dan menerjemahkan spirit kewirausahaan tersebut ke dalam setiap gerak langkah organisasi. Pertanyaannya, peran konkret apa yang dapat diemban mahasiswa agar tetap relevan dan berkontribusi pada isu-isu kekinian, seraya tetap berpegang pada koridor jiwa entrepreneurship yang menjadi DNA kampus? Penyelarasan visi strategis kampus dengan misi operasional organisasi mahasiswa adalah kunci yang tak bisa ditawar.

Pembagian Tugas Antara Organisasi Jurusan dan Dingkat Fakultas

Himpunan Mahasiswa Jurusan (HMJ) dan Badan Ekesekutif Mahasiswa Fakfultas (BEM F) harus Kembali duduk bersama, untuk mendiskusikan kembali pada bagian apa mereka membagi tugas organisasi. Hinggi kini, program-program kerja yang dijalankan oleh HMJ telihat tumpang tindih dengan program yang dijalankan oleh BEM. Misalnya pada program pengembangan skill anggota organisasi dibidang digital, HMJ dan BEM seringkali sama-sama ingin membuat program seperti pelatihan desain grafis, editing video, copywriting, dan lain-lain.

Seharusnya program yang teknis terkait pengembangan skill itu menjadi kewenangan HMJ. Lantas program apa yang harus dibuat oleh BEM? Karena BEM adalah organisasi mahasiswa tertinggi secara struktural, maka program yang seharusnya dibuat juga bisa bersifat umum. Program yang dimaksud seperti pelatihan kepemimpinan, bagaimana menyelesaikan masalah dengan strategis, hingga belajar untuk merespon peristiwa-peristiwa yang tengah terjadi di masyarakat.

Kolaborasi Masyarakat Kampus

Mahasiswa adalah gudang ide dan energi kreatif; kampus memiliki tanggung jawab untuk menyediakan “Kendaraan” dan infrastruktur pendukung agar mimpi-mimpi tersebut dapat direalisasikan. Namun, realitas di lapangan seringkali menunjukkan sebaliknya. Ide-ide brilian mahasiswa kerap dimentahkan tanpa ruang diskusi konstruktif, tanpa diberikan kesempatan untuk perbaikan. Memang, kemampuan artikulasi ide yang belum sempurna adalah hal wajar bagi seorang pembelajar, dan itu bisa diasah. Namun, kewajiban esensial mahasiswa adalah terus menggodok gagasan yang relevan dan solutif.

Sebaliknya, birokrasi kampus, dalam perannya sebagai fasilitator dan pembimbing, harus menciptakan iklim yang kondusif bagi lahir dan berkembangnya inovasi dari mahasiswa. Ini penting untuk menghapus stigma “Mahasiswa hanya bisa omong kosong”. Ironisnya, kadang justru dilanggengkan oleh sikap menyalahkan dari pihak birokrasi kampus.

Mentalitas mahasiswa harus dibangun melalui dukungan nyata, bukan sekadar retorika. Menolak ide tanpa menawarkan alternatif solusi atau bimbingan hanya akan mematahkan semangat dan meruntuhkan kepercayaan diri, sebuah luka psikologis yang berpotensi dibawa hingga ke dunia profesional. Sudah saatnya membangun kultur kolaborasi yang saling mendukung antara mahasiswa dan pihak kampus. Kerja sama yang sehat dan produktif bukan hanya akan menguntungkan mahasiswa secara sepihak, tetapi juga akan memberikan kontribusi signifikan bagi reputasi dan citra positif kampus di mata publik yang lebih luas. Ini adalah investasi jangka panjang bagi masa depan institusi dan, yang lebih penting, bagi masa depan generasi penerus bangsa.

spot_img
BERITA TERKAIT

TINGGALKAN KOMENTAR

Silakan masukkan komentar anda!
Silakan masukkan nama Anda di sini

- Advertisment -spot_img

Topik Populer

spot_img

KOMENTAR TERBARU