SMK Kesehatan Terpadu Mega Rezky Makassar kembali menorehkan prestasi. Kali ini siswa mereka mendapatkan juara I pada kategori lomba esai dalam Dies Natalis ke-19 Universitas Mega Rezky Makassar.
Pauline Yonathan dan Devita Sari siswa yang mewakili sekolah mengangkat judul Climb for the Climate: Media Edukasi Krisis Iklim untuk Generasi Muda. Pauline, ketua tim menjelaskan jika media edukasi dilatarbelakangi oleh dampak krisis iklim yang saat ini semakin terasa.
“Beberapa data menunjukkan seperti kenaikan suhu yang saat ini mencapai 1,59°C, lalu kenaikan muka air laut global naik 2-3 mm setiap tahunnya,” terangnya.
Hal tersebut tambah dia, semakin diperparah oleh deforestasi secara global yang berkontribusi aktif dalam pelepasan karbon ke atmosfer.
“Kalau kita melihat data dari WRI, tahun 2023 kita kehilangan hutan tropis sebanyak 3,7 hektar,” ujarnya.
Selain dampak parah dari krisis iklim, sayangnya hal tersebut masih mendapat respon kurang percaya terhadap krisis iklim. Salah satu survei dari Remotivi menunjukkan hanya 37% dari 1.097 yang memiliki kesadaran tinggi terhadap krisis iklim.
Berdasarkan hal tersebut, kedua siswa ini mencoba untuk meningkatkan kesadaran masyarakat khusus pelajar terhadap pengetahuan mengenai dampak krisis iklim. Hal ini juga sesuai dengan tujuan pembangunan berkelanjutan yakni memasukkan Climate Action.
“Merujuk pada SDGs tujuan ke 13 yaitu penanganan perubahan iklim dengan sasaran target ke 3, dalam hal ini untuk meningkatkan kesadaran masyarakat akan dampak bahaya terjadinya krisis iklim,” jelasnya.
SMK Kesehatan Terpadu Mega Rezky Makassar kembali menorehkan prestasi. Kali ini siswa mereka mendapatkan juara I pada kategori lomba esai dalam Dies Natalis ke-19 Universitas Mega Rezky Makassar.
Pauline Yonathan dan Devita Sari siswa yang mewakili sekolah mengangkat judul Climb for the Climate: Media Edukasi Krisis Iklim untuk Generasi Muda. Pauline, ketua tim menjelaskan jika media edukasi dilatarbelakangi oleh dampak krisis iklim yang saat ini semakin terasa.
“Beberapa data menunjukkan seperti kenaikan suhu yang saat ini mencapai 1,59°C, lalu kenaikan muka air laut global naik 2-3 mm setiap tahunnya,” terangnya.
Hal tersebut tambah dia, semakin diperparah oleh deforestasi secara global yang berkontribusi aktif dalam pelepasan karbon ke atmosfer.
“Kalau kita melihat data dari WRI, tahun 2023 kita kehilangan hutan tropis sebanyak 3,7 hektar,” ujarnya.
Selain dampak parah dari krisis iklim, sayangnya hal tersebut masih mendapat respon kurang percaya terhadap krisis iklim. Salah satu survei dari Remotivi menunjukkan hanya 37% dari 1.097 yang memiliki kesadaran tinggi terhadap krisis iklim.
Berdasarkan hal tersebut, kedua siswa ini mencoba untuk meningkatkan kesadaran masyarakat khusus pelajar terhadap pengetahuan mengenai dampak krisis iklim. Hal ini juga sesuai dengan tujuan pembangunan berkelanjutan yakni memasukkan Climate Action.
“Merujuk pada SDGs tujuan ke 13 yaitu penanganan perubahan iklim dengan sasaran target ke 3, dalam hal ini untuk meningkatkan kesadaran masyarakat akan dampak bahaya terjadinya krisis iklim,” jelasnya.
Media Berbasis Ular Tangga
Melihat berbagai dampak nyata tersebut, kedua siswa berinisiatif untuk membuat media edukasi untuk memberikan pengetahuan kepada siswa mengenai krisis iklim.
“Kami mengangkat ide untuk membuat media edukasi yang dapat digunakan oleh semua kalangan usia demi memberikan edukasi tentang krisis iklim yang dibungkus dengan permainan ular tangga yang menyenangkan,” kata Pauline, yang juga merupakan ketua OSIS di sekolahnya.
Devita salah satu tim menjelaskan jika permainan ular tangga ini layaknya permainan ular tangga pada umumnya. Namun inovasi yang dibuat adalah dengan menambahkan kartu-kartu yang berisi mengenai informasi seputar krisis iklim.
“Kami menambahkan kartu kesempatan dan tantangan yang berisi pertanyan mengenai krisis iklim lalu dijawab oleh siswa. Jika benar, akan ada reward dengan maju beberapa langkah dan jika salah maka mendapatkan punishment berupa mundur beberapa langkah,” terangnya.
Hal tersebut, kata Devita membuat siswa mendapatkan edukasi krisis iklim dengan cara yang menyenangkan. Selain itu juga mendorong minat belajar siswa untuk mengetahui dampak dari krisis iklim yang saat ini sedang terjadi.
Juara yang mereka dapatkan merupakan hasil dari upaya dalam mengedukasi generasi muda terkait krisis iklim. Di satu sisi, isu krisis iklim juga jarang mereka dapatkan sehingga proses pembuatan ini membuatnya belajar juga mengenai krisis iklim.
“Awalnya sempat ragu apalagi setelah melihat topik yang diangkat yang menurutnya saya cukup asing, karena saya sendiri tidak punya dasar untuk menulis esai. Namun saya sangat bersyukur karna dalam proses pengerjaan esai ini banyak pihak yang mendukung dan tentunya ada pembimbing yang terus memberikan arahan untuk kami,” terang Devita.
Pauline juga menjelaskan jika proses pembuatan esai ini mendapatkan banyak pembelajaran terhadap dirinya sendiri.
“Berjuang mengatur waktu, menahan lapar, berusaha menstabilkan emosi dan kembali melanjutkan proses. Namun dibalik perjuangan itu, hasil yang didapatkan tidak mengecewakan,” pungkasnya.
“Kami mengangkat ide untuk membuat media edukasi yang dapat digunakan oleh semua kalangan usia demi memberikan edukasi tentang krisis iklim yang dibungkus dengan permainan ular tangga yang menyenangkan,” kata Pauline, yang juga merupakan ketua OSIS di sekolahnya.
Devita salah satu tim menjelaskan jika permainan ular tangga ini layaknya permainan ular tangga pada umumnya. Namun inovasi yang dibuat adalah dengan menambahkan kartu-kartu yang berisi mengenai informasi seputar krisis iklim.
“Kami menambahkan kartu kesempatan dan tantangan yang berisi pertanyan mengenai krisis iklim lalu dijawab oleh siswa. Jika benar, akan ada reward dengan maju beberapa langkah dan jika salah maka mendapatkan punishment berupa mundur beberapa langkah,” terangnya.
Hal tersebut, kata Devita membuat siswa mendapatkan edukasi krisis iklim dengan cara yang menyenangkan. Selain itu juga mendorong minat belajar siswa untuk mengetahui dampak dari krisis iklim yang saat ini sedang terjadi.
Juara yang mereka dapatkan merupakan hasil dari upaya dalam mengedukasi generasi muda terkait krisis iklim. Di satu sisi, isu krisis iklim juga jarang mereka dapatkan sehingga proses pembuatan ini membuatnya belajar juga mengenai krisis iklim.
“Awalnya sempat ragu apalagi setelah melihat topik yang diangkat yang menurutnya saya cukup asing, karena saya sendiri tidak punya basic untuk menulis essay, namun saya sangat bersyukur karna dalam proses pengerjaan essay ini banyak pihak yang mendukung dan tentunya ada pembimbing yang terus memberikan arahan untuk kami,” terang Devita.
Pauline juga menjelaskan jika proses pembuatan esai ini mendapatkan banyak pembelajaran terhadap dirinya sendiri.
“Berjuang mengatur waktu, menahan lapar, berusaha menstabilkan emosi dan kembali melanjutkan proses. Namun dibalik perjuangan itu, hasil yang didapatkan tidak mengecewakan,” pungkasnya.