Angkuh akan Materi, hingga Miskin Moral dalam Diri
“Wahai orang-orang yang beriman, jadilah kamu orang yang benar-benar penegak keadilan, menjadi saksi karena Allah biarpun terhadap dirimu sendiri atau ibu bapak dan kaum kerabatmu. Jika ia kaya ataupun miskin, maka Allah lebih tahu kemaslahatannya. Maka janganlah kamu mengikuti hawa nafsu karena ingin menyimpang dari kebenaran. Dan jika kamu memutar balikkan (kata-kata) atau enggan menjadi saksi, maka sesungguhnya Allah adalah Maha Mengetahui segala apa yang kamu kerjakan. (Q.S. An-Nisaa’ : 135)”.
Dengan membaca secara seksama penggalan Q.S. An-Nisaa’ : 135 seketika menyadarkan seseorang akan manusia yang lebih banyak memberi makan pada egonya. Hingga hawa nafsu akan kesombongan juga menyeruak hingga ke ubun – ubun. Tipe manusia yang hanya mementingkan dirinya saja dan tergolong acuh akan orang lain di sekelilingnya, bukan lagi hal yang tidak wajar, melainkan sudah menduduki status wajar di tengah masyarakat.
Tidak ada satu manusia pun ingin hidup tidak berkecukupan atau orang menyebutnya kaum pinggiran, namun jika mampu dimaknai oleh seseorang, justru itu merupakan sebuah kebaikan yang di berikan Tuhan untuk manusia di bumi. Tetapi, pikiran liar justru lebih banyak menggerogoti, sehingga manusia dengan sangat sukarela menyusuri jalan buntu dalam hidupnya.
Sepanjang hidup, perihal memberikan hak orang lain yang dititipkan melalui sesorang, justru menjadikan manusia menghianati kewajibannya. Bahkan, tak jarang merendahkan manusia lain adalah hobinya, hanya karena mereka yang disebut kaum pinggiran tak memiliki kasur dan rumah mewah yang sama. Beberapa manusia ingin disebut manusia, namun tidak memanusiakan manusia lain.
Di pandangan manusia, orang yang menggantungkan hidupnya pada jalanan tersebut, dianggapnya memiliki strata sosial yang berbeda dengan dia yang hidup nyaman di rumah mewahnya. Namun sayang, itu hanya di mata manusia tapi tidak dengan Tuhan. Seketika, terkadang orang lupa bahwa yang dimiliki akan hilang dan tak tersisa, jika yang dititipkan tidak memberi manfaat pada orang lain.
Tak jarang pula, orang yang disebut kalangan atas justru memanfaatkan kondisi mereka kaum pinggiran. Yah, hanya karena ingin dinilai dermawan, hingga mempublikasikan kebaikan yang dibuatnya. Padahal, bukankah lebih baik jika tak diumbar.
Dari beberapa manusia yang menilai kaum pinggiran lebih rendah darinya. Mereka mengenal kata sadar dan mampu mengenali seluruh hurufnya, tetapi hanya sekadar itu namun tidak diimplementasikan dalam hidupnya.
Mungkin seseorang lupa dan menutup mata juga hati nurani, bahwa betapa sulitnya hidup kaum pinggiran di luar sana. Sesungguhnya, mereka ingin kehidupan yang sama di mana ada kelayakan di sana. Sekali lagi, Tuhan Maha baik, sebab jika tak ada kaum pinggiran, siapa yang akan diberi sumbangan, siapa yang akan disantuni, siapa yang akan menjadi teman berbagi. Kita patut, menguatkan rasa syukur.
Dari milyaran manusia, tentu sesuatu yang keliru jika seluruhnya dikatakan tak ada yang ikhlas dan tulus dalam berbagi pada sesama. Namun juga tidak bisa terbantahkan bahwasanya ada orang-orang yang angkuh akan harta, yang kaya akan materi namun diselimuti kemiskinan moral dalam diri.
Jika menilik kembali, kisah sahabat Nabi, Mush’ab bin Umair. Ia adalah sahabat Nabi yang meninggal syahid pada awal-awal masa jihad serta meninggal dalam keadaan fakir. Rasulullah bersama sahabat yang lain hanya bisa menangis saat Mush’ab meninggal karena jasadnya yang tidak bisa ditutup oleh satu kain burdah miliknya. Andai kain itu ditaruh di atas ke palanya, terbukalah kedua belah kakinya, begitu pula sebaliknya. Karena hal tersebut, Nabi pun bersabda, “Kaum fakir dari golongan muhajirin masuk surga terlebih dahulu sebelum kaum kaya dari kalangan mereka dengan jarak selama 500 tahun.”
Keutamaan orang-orang miskin dalam Islam telah banyak disebutkan dalam hadis dan Al-Qur’an. Bahkan, Nabi Muhammad berdoa agar ia dapat dikumpulkan dengan orang-orang miskin. Bahkan, Nabi Muhammad pernah berdoa, “Ya Allah, hidupkanlah aku dalam keadaan miskin, dan matikanlah aku dalam keadaan miskin, dan kumpulkanlah aku (pada hari kiamat) dalam rombongan orang-orang miskin.”
Kisah Mush’ab bin Umair tersebut, merupakan bukti nyata bahwasanya banyaknya harta yang tidak bermanfaat akan menjadi tolak ukur sesorang turut mendapat kemuliaan Allah SWT. Hal tersebut sudah selayaknya menjadi renungan bagi manusia yang memberikan gizi sehat bagi kesombongannya, hingga terpelihara pun dengan baik. Apakah akan ada dampak postif yang akan dituai, nyatanya nihil.
Sementara saat ini, jika diperhatikan secara detail di sepanjang sudut kota banyak sekali orang-orang pinggiran dengan pelbagai macam cara untuk mendapatkan uang, bukan berpikir jangka panjang tetapi hanya hari itu saja. Di mana, kekhawatiran apakah hari ini bisa makan selalu terngiang dalam pikiran. Tidak lagi berkeinginan lebih daripada itu.
Adanya tuntutan biaya hidup, akhirnya memaksa mereka kaum pinggiran untuk mendapatkan uang dengan cara yang tidak halal. Hal iu, sejujurnya tidak ingin dilakukannya, tetapi keadaanlah yang memaksa mereka.
Seringkali, hanya sekadar mengehentikan kendaraan untuk mematuhi rambu-rambu lalu lintas, akan banyak berdatangan dari arah manapun anak-anak kecil yang meminta untuk diberikan uang, paling banter dia akan menyebut “saya belum makan”. Namun sangat disayangkan, mereka yang mengendarai mobil memilih untuk tetap tidak menurunkan kaca mobilnya, seakan bersikap cuek dan tidak peduli. Entah apa alasannya sehingga bahkan uang 2000 saja tak diinginkan untuk ada kata ikhlas di dalamnya.
Fandi, 29 November 2021